Deggg...
Satu detakan jantung terasa seperti bom atom, yang hanya menunggu waktu untuk meledak.
Aku telah memasuki rumah calon mempelai wanita. Mataku tak sanggup menatap apapun. Bahkan tanpa kucari, radarku dapat merasakan ia pasti merasakan gemuruh yang lebih hebat.
Aku dan keluargaku masuk, aku mencoba duduk dengan posisi paling tenang. Mengajukan segala niat baik, Allah permudah langkah ini untuk menjemput niatan suci. Setelah ku utarakan niatku, ia keluar dari persembunyian permadaninya.
Ia terus menunduk, kosong, dan tak menatap siapapun. Bahkan juga aku. Tak sedikitpun ia tatap. Bagiku, mungkin ia sangat gugup sama sepertiku. Atau dia merasa tertekan dan terpaksa dengan semua ini.
Pendapatnya pun ditanyakan, hatiku mulai bergemuruh lagi. Tapi tanpa menatapku, dia mengatakan "iya, aku bersedia". Setelah itu ia kembali, yang kupikir itu adalah kamar kesayangan tempat ia selama ini menyembunyikan diri.
Entah kenapa, tidak ada kelegaan dalam dadaku. Hanya ragu yang semakin menggebu. Aku takut, ia menerimaku bukan karena hati dan kehendaknya.
Tapi, bapak paruh baya yang kutemui di mushola, yang akan menjadi ayah mertuaku mengatakan bahwa puterinya itu memang pemalu. Tapi ia tau persis, saat puterinya mengatakan iya artinya iya, itu adalah suara hatinya.
Semoga saja, karena setelah ini ia hanya akan memandangku saat setelah selesai akad.
Semoga saat itu, ia tidak menyesali pilihannya ataupun menyesali kata iya yang ia ucapkan 5 menit lalu.Aku pulang,
Walau aku sangat ingin melihatmu.
Tapi aku pulang.__________________________________
Azlan, dimalam khitbah itu 💟
KAMU SEDANG MEMBACA
Azlan & Azlea
PoetryHanya sajak tentang caraku mencintai tanpa menodai kefitrahan cinta itu sendiri. Tidak seperti defenisi cinta yang ditafsirkan banyak orang. Tapi cinta bagiku hanyalah ruang-ruang penerimaan dan pengikhlasan.