Prolog

1.5K 23 0
                                    


Airin Arundati.

Itulah nama yang cocok untuk seseorang perempuan dewasa yang sedang menata karier di umur kepala tiga. Dia baru menyadari ketika sang Ibu tercinta memberikan sebuah kue yang bertulis TIGA PULUH TAHUN. 

"Sampai kapan kau akan melajang di umur kepala tiga, anak nakal?" aku menatap kue tersebut lalu menatap ke arah Ibu dengan bergantian.

"Apakah Ibu tidak salah?" tanyaku dan di balas dengan decakan kasar darinya.

"bu memang sudah tua, tapi ibu masih ingat kapan kamu lahir." ujarnya dengan malas sehingga membuat aku menhembuskan nafas dengan perlahan-lahan.

"Kapan kamu akan memperkenalkan lelaki kepada ibu?" aku menarik kursi yang ada di hadapanku lalu aku menepuk pelan kursi lalu ibuku langsung mendudukkan diri.

"Tunggu saatnya Bu, aku kan membawanya." jawabku dengan suara pelan sehingga emmbuat Ibuku kembali mendesah. "Kau tidak malu kah?" aku menggelengkan kepala seraya menatap sendu Ibuku.

"Tapi Ibu yang malu, nak!" aku meneguk ludah dengan susah payah saat mendengar kata tersebut.

"Tapi Bu, Airin belum siap." aku menundukkan kepala dan menatap ke arah lantai yang sangat berkilau.

"Bolehkah sekali lagi ibu menjodohkan kamu denagn anak teman ibu?" seketika aku mengangkat kepala dan menatap ke arah Ibuku.

"Tap...tapi bu?????" 

"Biarkan kali ini kamu menang." aku hanya terdiam menatap ke arahnya dengan pandangan yang sulit di artikan. "Kamu tidak boleh menolak kali ini nak." dia meraih tanganku dan menatapku dengan tatapan penuh harapan.

"Bu, tapi ini akan terasa sulit." aku mengigit bibir dengan gugup. Sungguh saat ini aku ingin  segera menghilang saja, rasanya sungguh tak sanggup melihat orang yang sudah berjuang untuk kita namun dia meneteskan air mata di depan kita sendiri.

"Kamu tidak usah khawatir, Ibu akan memastikan bahwa ini yang terbaik untukmu." Ibu menarikku ke dalam pelukannya sehingga membuat tangisku pecah.

"Terima kasih sudah bertahan sejauh ini. Tanpa kamu hidup Ibu tidak berguna dan juga tanpa kamu hidup Ibu terasa hambar!"  pecah sudah tangisku saat mendengar ucapan ibuku.

"Percayalah nak, bahwa Ibu akan selalu berada di sisimu." dia mengusap rambutku dengan perlahan-lahan dan aku pun membalas dengan memeluk dengan erat.  





Lubuk AksaraWhere stories live. Discover now