CHAPTER 10

218 7 0
                                    


Kami sudah berada di tempat meeeting dengan klien. "Tapi apakah itu sudah mencapai target dan kamu sudah menyeleksi semua penulis dengan benar-benar ada bakat menulisnya?" aku hanya diam saja mendengarkan semua penjelasannya dan itu membuat aku sedikit kagum dengan sikap pak Saddam.

"Semuanya sudah saya seleksi dan semua termasuk ke dalam kandidat versi terbaik. Saya pastikan naskah yang masuk juga bukan sembarangan dan juga bukan naskah yang memiliki naskah yang sama di pasaran."dia melirik ke arahku dengan mengangkat tangan sehingga membuat aku menganggukan kepala.

"Jika bapak menyukai apa yang dijelaskan oleh pak Alan, saya merasa bahwa itu ide bagus karena saya merasa minat pembaca sekarang mulai menurun hanya pasaran memiliki cerita yang sama meskipun di kemas dalam kosa kata yang berbeda tapi masih sama dalam isi, alurnya sehingga membuat para pembaca sepertinya bosan." aku menilai beberapa di ceritaku dan sepertinya para pembacaku sudah jenuh dengan alur yang terlalu bertele-tele. Aku hanya menatapnya dengan datar sedangkan dia menatap ke arahku dengan mengangkat alis. "Ya sudah nanti saya bersama tim akan segera merevisi naskah yang masuk."

"Ya sudah kalau begitu saya mengakhirinya untuk pertemuan kali ini. Selanjutnya tim yang akan turun tangan mengatasi semuanya." aku hanya menunggu pak Saddam yang sudah bersiap-siap meninggalkan pak Alan dan juga kami bersalaman dengan pak Alan.

"Ya sudah tidak apa-apa. Saya menunggu keputusannya." kami bersalaman dan juga setelah itu kami berpamitan. Kami saat ini hendak pulang dari meeting dan itu membuat kami canggung. "Bagaimana?" aku langsung menoleh ke arahnya sembari mengangkat alis. "Apa?"

"Kamu tidak menyimak, apa yang membuat tidak menyimak?" aku benar-benar tidak mengerti dengan pertanyaan." Saya mengerti pak." jawabku dengan malas. "Apa?" entah kenapa dia semakin menyebalkan di mataku saat ini. "Saya akan berdiskusi dengan tim. Bapak tidak perlu khawatir." dia malah berdecak dengan kesal. "Tolong jangan panggil saya dengan panggilan bapak. Saya tidak setua itu." aku menganggukan kepala saja tanpa menjawab pertanyaan darinya. "Airin.."

"Pak sudah sampai." aku hendak membuka pintu tapi terkunci. "Sekali kamu panggil bapak. saya cium kamu." aku merasa specless dengan apa yang dia ucapkan.

"Apa?"

"Saya bukan bapakmu, dan juga saya engga suka kamu berpaling dari saya." aku benar-benar sakit hati dengan ucapanya. Apa maksudnya batinku bertanya-tanya.

"Pak, saya tidak mengerti apa maksud ucapan bapak. Tapi ini masih daerah kantor. Saya harap bapak mengerti ucapan saya." pintaku dengan wajah memerah dan dia malah menatapku dengan tatapan yang sulit di artikan.

"Ada yang salah dengan ucapan saya?" dia benar-benar tidak mengerti sehingga membuat aku merasa muak. "Pak Saddam yang terhormat, mohon ini daerah kantor dan juga bapak tidak ada hak untuk kehidupan saya." dengan kesal aku membuka pintu dengan kencang untungnya pak Saddam tidak menyadari ketika aku berbicara dengannya sembari membuka kunci pintu.

"Airin tunggu saya." dengan kesal aku berjalan terburu-buru. Mengabaikan dengan teriakan dari Saddam. Beberapa orang menatap kami sebab direktur memanggil namaku dengan keras.

Dengan kesal aku langsung ke pantry dulu. Aku ingin menghindar dari Saddam. Dengan membuat teh matcha sehingga membuat pikiranku merasa tenang dan juga membuat aku menghirup nafas dengan segar.

"Kenapa?" aku tersentak kaget saat Keenan menepuk bahuku dengan pelan. "Aish... ngapain?" "Lo ngapain di sini?" aku langsung memutar bola mata dengan malas.

"Kenapa? gak boleh?" dia malah berdecak dengan sebal. Kami saling terdiam satu sama lain. Aku yang sedang minum teh anget, menghiraukan tatapan dari Keenan. "Ada apa sampai lo lari ke sini." aku hanya diam saja, menghiraukan ucapan dari Keenan. "Nanti pulang ada waktu?" tanyaku dan dia menganggukkan kepala. "Tempat biasa." aku langsung pergi setelah menyelesaikan cucian gelasku.

"Dengan tampang tidak bersalah, aku mendorong pintu dan hendak duduk di kursi namun secara tiba-tiba pintu di buka dengan kencang. "Airin kamu darimana saja?" aku mengangkat kepala dan menatapnya sejenak. "Ah maafkan saya pak, saya habis dari pantry. Habis membuat teh manis." ujarku dengan membungkukkan badan dia malah bernafas dengan kasar.

"Kenapa kamu menghindar dari saya?" saat ini aku benar-benar ingin memukul wajah Saddam. "Pak saya meminta untuk tidak mengungkit masa lalu. Saya sudah menutup masa lalu. Jadi saya tolong jangan membuat saya membenci diri sendiri." dengan langkah aku langsung berjalan menuju ke arahnya. Tinggiku hanya sedada sehingga membuat aku mendongak ke arahnya dan dia malah tersenyum.

"Semua hanya salah paham. Saya datang ke sini untuk menjelaskan dan..."belum sempat dia menjalaskan semuanya, aku langsung menempelkan jari di bibirnya sehingga membuat dia langsung menghentikan omongannya.

"Pak Saddam yang terhormat, saya sudah melupakan masa lalu dan saya mohon kepada bapak untuk saat ini. Saya hanya ingin bekerja dengan santai jadi bapak tolong singkirkan perihal masa lalu." dengan satu tarikan nafas dan sembari menahan tangis aku langsung memalingkan wajah ke arah lain setelah mengungkap semuanya.

"Tapi..."

"Pak saya mohon kepada anda, tolong jangan membawa masa lalu ke masa depan. Saya juga ikhlas dengan masa lalu."

"Huft... ya sudah saya tinggal." dia menarik nafas dengan kasar dan menghembuskan dengan pelan.

"Saya harap kamu mengerti dan memaafkan kesalah saya di masa lalu." setelah itu dia langsung keluar dari ruangan dan juga dia langsung menutup pintu seketika itu aku langsung menyenderkan badan di balik pintu dan sembari menjambak rambutku dengan kasar. "Kenapa dia muncul lagi, setelah sekian lama dia menghilang?" tanyaku dengan nada lirih.

Saat ini sudah menunjukkan pukul jam sembilan malam, dan aku bersama Keenan masih bersama dan di tempat sama sehingga membuat Keenan berdecak dengan kesal.

"Dia bilang jangan gue berpaling darinya. Kan itu tolol." ceritaku dengan suara mengebu-gebu.

"Dia masih waras?" aku mengedikan bahu dan menyendokkan nasi goreng ke mulutku

"Jadi dia ngomong begitu ke lo tadi?" aku menganggukkan kepala setelah menyelesaikan semua dan baru sampai ke sini jam tujuh malam.

"Gila gak sih, gue nunggu lo di sini hampir satu jam dan lo baru muncul satu jam kemudian."

"Saddam ngasih kerjaan tiba-tiba." ujarku dengan menghela nafas.

"Dia masih suka ke lo?" seketika pandanganku langsung tajam ke arahnya.

"Amit-amit gue jatuh ke lubang yang sama. Gue aja move on dari dia lama banget. Masa balikan sama mantan." aku langsung mengetuk kepala dan meja sebanyak tujuh kali. 'Lo kalau ngomong yang bener kek."

"Ingat ya mas Kee. Lo juga tau masa lalu gue jadi lo tau juga kan?" dia menganggukan kepala dan setelah aku bersiap-siap untuk pergi.

"Dah ah gue mau bayar dulu," dengan beranjak aku langsung membayarnya dan meninggalkan Keenan.

"Lo mau pindah kerja gak?" aku yang hendak menyimpan sisa kembalian seketika langsung menangkap netra bola mata Keenan. "Gue masih bisa di atasi jadi lo gak perlu terlalu khawatir sama gue." kataku dengan suara pelan sehingga membuat dia mendesah dengan pelan.

"Kalau ada masalah cerita aja, gue selalu ada buat lo," dia menarikku ke dalam pelukannya dan sehingga membuat aku membalas pelukannya.

"Ya sudah lo balik, gue masih ada urusan sama yang lain." dia menyuruhku pulang sedangkan dia langsung tersenyum dengan lebar.

"Jangan aneh-aneh jadi orang Keenan." dia hanya tersenyum dengan lebar.

"Engga ko cuman satu doang. Udah sana balik, emak lo dah nyariin." aku mendengus dengan kasar.

"Ya sudah gue balik dulu, lo jangan macam-macam. Awas lo!" aku langsung mengacungkan jari tengah dan dia malah tertawa dengan lebar.

"Iya sono, dah balik aja sana." dengan langkah rahu aku membalas lambaian dari tangannya dan juga tersenyum semakin lebar.

"Hati-hati di jalan." samar-samar aku mendengar suaranya dan hal tersebut membuat aku tersenyum dengan tipis. Hanya Keenan yang mampu menenangkan di saat seperti ini.

Lubuk AksaraWhere stories live. Discover now