CHAPTER 4

339 9 0
                                    

Aku hanya diam saja setelah selesai makan malam. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa tapi aku lihat Jefri pun merasa tak enak denganku.

"Dia itu mantan istri saya," aku pura-pura tidak mendengarkan apa yang dia bicarakan.

"Waktu dia meninggalkan saya saat saya berumur dua puluh tahun," lagi-lagi aku terkejut saat dia menikah di usia muda.

"Sebenarnya tidak banyak yang tahu tapi saya rasa, saya harus menjelaskan sebelum semua menjadi rumit," dia melirik ke arahku dengan pandangan yang sulit di artikan. Sebenarnya dia bingung untuk menceritakan kepadaku atau tidak sebab dia terlihat beberapa kali membuang nafas dengan kasar.

"Kami menikah karena kejadian saya pas masa kuliah waktu itu. Waktu itu saya sangat tidak percaya diri dengan penampilan saya juga sama sikap saya terhadap orang. Dia datang dan membawa saya arti sebuah kehidupan dan juga saya di situ mulai tertarik dan seperti apa yang kamu pikirkan. Saya telah mengeceweakan orang tua dan akhirnya kami menikah tapi itu hanya bertahan sampai usia seumur jagung dan itu membuat saya menyesali semuanya." aku menoleh ke arahnya dan aku lihat dia juga sudah tersiksa, terdengar dengan jelas suaranya mulai memberat.

"Lalu anak?" tanyanya dengan suara pelan sehingga membuat dia langsung tersenyum dengan getir.

"Anak kami, meninggal akibat keegoisan kami berdua. Mungkin dia berpikir untuk memilih tidak hadir ketimbang memilki keluarga yang toxic." aku tersentak kaget saat dia menceritakan sisi rapuhnya. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.

"Saya telah menghancurkan hidup seseorang dan anak saya pun pergi karena tidak ingin menanggung kehancuran dirinya sendiri akibat saya." aku mengusap lengannnya dengan pelan saat dia menyenderkan kepala di stir mobil sehingga membuat aku merasa kasihan dengan kehidupannya.

"Mas, Airin yakin anak mas tidak menyesal kemudian hari jika dia memang di takdirkan menjadi anak mas." aku lihat dia benar-benar menangis dengan suara tertahan.

"Menangislah jika membuat mas merasa lebih nyaman dan juga merasa lebih baik. Kadang menangis tidak membuat kita lemah tapi itu membuat mas merasa tenang." ujarku dan di saat itu pula tangis Mas Jefri pun pecah. Saat ini pikiranku benar-benar buntu. Benarkah itu adalah jalan hidup yang diaa pilih beberapa tahun yang lalu batinku bertanya-tanya.

Cukup lama kami terdiam sehingga membuat aku menatap jam yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan Mas Jefri pun sudah tidak menangis seperti tadi mungkin dia sudah meluapakna yang yang dia selama ini di tahan.

"Kheem... maafkan saya telah membuat kamu kecewa malam ini," aku menganggukan kepala dan tersenyum dengan tipis.

"Tidak apa-apa Mas selama itu membuat kita merasa lebih lega, mas jangan sungkan untuk menangis!" ujarku dan dia langsung tersenyum sembari menatapku.

"Ya sudah kalau begitu, ayo mas antarkan pulang."

Di dalam mobil kali ini suasana masih terasa canggung tapi sekarang tidak secanggung tadi sehingga membuat aku terlihat lebih tidak canggung.

"Maaf ya kita pulang terlalu malam," dia merasa tidak enak denganku sehingga membuat aku menggelengkan kepala dan itu membuat aku menoleh ke arahnya.

"Airin mengerti ko Mas," aku menatap ke arah sekitar jalan yang mulai terlihat masih ramai di malam ini.

"Banyak anak muda yang masih di luar di jam segini ya?" aku langsung menatapnya dan menganggukan kepala.

"Namanya juga anak muda pasti dia akan menikmati masa muda dengan berbagai cerita." cicitku dengan suara pelan sehingga membuat Mas Jefri menatapku dengan tatapan yang sulit di artikan.

"Ya semoga saja mereka tidak melakukan kesalahan yang dimana membuat dia merasa seperti saya!" dia langsung menatap ke depan dengan pandangan yang amat menyesal.

"Itu sudah menjadi masalah Mas, selebihnya biarkan takdir membawa mas pergi kemana takdir tersebut membawanya." dia tersenyum dengan sampul sehingga membuat aku tersenyum dengan tipis.

"Terima kasih Airin kamu telah memberikan saya mengenalmu," aku menganggukan kepala saja.

*

"Terima kasih ya mas sudah mengajak Airin pergi." aku melambaikan tangan saat kami sudah sampai di depan rumahku dan aku lihat mas Jefri hanya tersenyum sembari membalas lambaian tanganku. "Iya sama-sama saya juga terima kasih telah membuat saya tersenyum." ucapnya sehingga membuat aku menggelengkan kepala.

"Mas Jefri berhak bahagia ko!" dia perlahan-lahan menutup kaca mobil dan dia klakson sebelum benar-benar meninggalkan halaman rumahku. Aku menghela nafas dan mengatakan, "Kamuflase yang luar biasa Airin!"

Aku menutup pintu dengan pelan dan sepertinya Ibu sudah tidur sehingga membuat aku berusaha tidak menimbulkan suara tapi saat aku berbalik setelah mengunci pintu, aku hampir terhayung saat Ibuku menatapku dengan tersenyum misterius. "Gimana?" aku mengangkat alis dengan bingung oleh pertanyaan dari Ibuku.

"Cowok tadi gimana?" tanyanya dan berusaha mendudukkan aku di sofa yang tak jauh dariku.

"Ya baik Bu," jawabku dengan cuek dan melepaskan high heels yang cukup membuat aku pegal. Aku melihat dia berdecak dengan sebal. "Ckckckckc... maksudnya gimana...eum cocok gak jadi calonmu?" dia menaik turunkan alisnya sehingga membuat aku memutar bola mata dengan dan beranjak untuk menyimpan high heels.

"Ibu kita baru pertama kali jadi bagaimana mungkin kita merasa cocok hanya dalam satu pertemuan saja?" dia mendesah dengan pelan dan menyenderkan kepalanya.

"Semuanya butuh proses Bu, dan itu cukup Ibu dukung aku saja!" ucapku dan setelah itu aku langsung masuk ke dalam kamar dan menyenderkan badan di balik pintu.

"Maafkan aku Ibu bila menjadi anakmu membuat Ibu merasa tersiksa." ujarku dengan lirih.

Aku membuka laptop dan mulai menulis apa yang saat ini aku pikirkan untuk novelku, jika kalian berpikir aku hanya bekerja sebagai editor saja di sebuah perusahan maka kalian salah sebab aku juga hanya seorang penulis dan itu di aplikasi online saja bahkan tak jarang beberapa aku di jadikan narasumber tapi aku tidak memperlihatkan wajahku melainkan aku selalu memakai masker sehingga membuat aku merasa tidak di kenali dan lebih konyolnya lagi aku di sunting oleh penerbitku dan itu membuat merasa menjadi hiburan sendiri. Tidak ada yang mengetahui siapa di balik nama Pena halu tapi itu membuat rasa para reader penasaran setengah mati.

Satu persatu kata telah aku selesaikan dan sekarang sudah menunjukkan pukul satu dini hari sehingga membuat aku menguap sebentar saja. "Melelahkan!" ujarku dan itu membuat aku membaringkan badanku di kasur dan menatap plafon yang berwarna gelap namun masih ada warna putih yang di gambar dengan bintang sehingga membuat sepenuhnya gelap.

"Ayah, apakah Ayah sudah menyesal sekarang?" aku termennung saat mengingat kembali ingatan masa lalu ku yang cukup suram sehingga membuat aku mengusap sudut air mataku.

"Aku memang membencimu tapi apakah kamu tidak ingin melihat anakmu yang yang dulu kau banggakan tapi sekarang kamu buang?"

"Dulu kamu memang panutan aku, tapi sekarang aku membencimu setengah mati. Aku harus melakukan apa supaya percaya dengan namanya lelaki?" aku benar-benar menangis saat ini dan itu membuat aku merasa sesak.

"Jika sekali lagi aku melihatmu, aku benar-benar tidak akan mengenalmu sebagai ayah melainkan sebagai orang asing!" ujarku dan perlahan-lahan aku menutup mata karena rasa mengantuk mulai menyerang dan mengabaikan laptop yang masih menyala.

Lubuk AksaraWhere stories live. Discover now