CHAPTER 9

199 9 0
                                    


"Jadi lo di pindahin ke sekretaris pak Saddam?" tanya Keenan dan aku menganggukan kepala dengan lesu.

"Terus Kinan bagaimana?" aku mengedikan bahu dan berusaha meminum teh hangat.

"Mungkin dia akan menjadi bagian editor atau dia ingin yang lain juga tidak masalah bukan, sebab Kinan yang ingin memilihnya sendiri."

"Lo yakin kuat?" aku sangat sudah menimbang semua i i, jika aku mengganti jadi sekretaris pak Saddam otomatis intensitasku bertemu adalah seratus persen sehingga membuat aku sakit sedangkan dengan orang masa lalu aku saja belum bisa memaafkan kesalahan mereka.

"Gue pasti bisa!" jawabky dan dia hanya menghela nafas .

"Mau pindah kerja gak Rin?" aku menoleh ke arahnya dan menatap tajam.

"Gak buat apa pindah. Tanggung amat pindah kerja. Kaya mudah beradaptasi aja." jawabku dengan ketus.

"Tapi lo benerana kuat sama dia?" entah berapa kali dia mengulang pertanyaan seperti itu sejak kami sudah sampai di tempat langganan ayam goreng kami.

"Huft gue harus kuat mas Kee sama semuanya. Mungkin sudah saatnya gue harus bangkit sama keadaam dan juga berdamai dengan masa lalu,"

"Ya udah ayo balik dah jam sembilan ini, berapa lam kita makan di sini." ujarku sembari melihat ke arah arlojiku.

"Ya sudah ayo balik. Berapa pak?" tanyaa Keenan kepada penjualnya dan penjual dengan menjawab harga "Empat puluh lima ribu." aku menyerahkan uang dan Keenan malah berdecak dengan sebal.

"Syut... lo gak usah complein. Ini jatah gue traktir lo. Jadi diem aja." ujarku sembari menyerahkan uang kepada penjual.

"Ya udah ayo balik." kami berdua langsung menuju ke parkiran dan setelah itu kami berdua juga langsung memakai helm masing-masng.

"Ingat jangan sungkan kalau ada masalah. Cerita saja." aku menganggukan kepala dan bersiap-siap pergi. Jarak rumah kami memang bersebrangan arah sehingga membuat kami merasa lebih jauh. "Hati-hati di jalan." aku mengacungkan jempol dan bergegas meninggalkan Keenan dan juga langsung pulang kerumah menginat hari sudah malam dan jalanan mulai terasa sepi sehingga membuat aku langsung sampai hanya dalam waktu dua puluh menit. " Baru balik nak?" aku menoleh ke arah sofa yang sudah ada Ibu yang sudah tidur dan mungkin bangun ketika mendengar suara motorku.

"Loh ko Ibu udah bangun, maaf ya bu jadi kebangun." aku langsung memeluknya dan dia malah menggelengkan kepala.

"Engga memang Ibu ketiduran tadi pas menonton tv,"

"Udah makan?" aku menganggukan kepala dan masuk ke dalam dapur. Air yang dingin langsung masuk ke dalam tenggorokan. "Bagaimana?" aku menoleh ke arahnya dan menarik kursi dan menatapnya sejenak.

"Semua baik-baik saja Ibu."

"Kalau ada masalah cerita saja sama Ibu." aku menganggukkan kepala.

"Ya sudah Bu, Airin ke kamar dulu," aku langsung pamit ke dalam kamar dan juga mulai membersihkan diri.

Hari ini aku terlambat bangun karena memikirkan apakah pak Saddam benar-benar serius dengan perkatanya sehingga membuat aku tidur larut malam.

"Sorry gue telat. Ada masalah sama momo," ujarku dengan menyenderkan badan di kursiku. "Loh ko mbak di sini?" aku langsung menoleh ke arah Kinan yang sedang membawa secangkir kopi.

"Hah?" aku langsung menatapnya dengan bingung.

"Apa"

"Ko mbak di sini, bukannya udah pindah ya?" aku langsung menoleh ke arah Keenan dan Keenan pun menganggukan kepala.

"Jadi kemarin itu nyata?" aku bertanya kepada diri sendiri.

"Barangnya udah di pindahkan oleh pak Saddam sendiri tadi," aku tambah bingugn dengan suasananya dan itu membuat aku merasa tidak enak dengan keadaan ke depannya.

"Ayo gue anter ke sana." aku langsung menolak ajakan Keenan dan tersenyum dengan tipis.

"Engga usah mas Kee gue bisa sendiri." dengan bahu lemas aku langsung berjalan dengan lesu dan ketika aku hendak membuka pintu aku di kejutkan dengan seseorang yang membuka pintu dengan kencang sehingga membuat aku tersentak kaget.

"Airin Arundati.... keruangan saya sekarang juga," semua orang langsung tersentak kaget dan aku melihat wajah pak Saddam di pagi hari sudah membuat aku lesu. tidak ada gairah hidup.

"Iya pak." jawabku dengan lesu dan aku melirik ke arah Yura yang menampilkan wajah bahagia, Keenan dengan wajah menahan amarah, Kathleen dengan wajah bingung dan Kinan menatapku dengan kebingungan.

"Oh jadi ini kelakukan kamu ketika menjadi karyawan di sini, datang terlambat." aku menundukkan kepala dan menatap lantai dengan lemas sedangkan sang empu hanya menatapku dengan tajam dan tak lupa dia bersedekap tangannya di dada.

"Saya jarang datang terlambat pak,"

"Alasan saja." dia langsung menyuruhku untuk duduk di kursi.

"Ya sudah duduk. Ada yang saya mau bicarakan dengan kamu." aku menganggukan kepala dan langsung menarik kursi.

"Kamu tahu alasan kamu menjadi sekretaris saya?" aku menggelengkan kepala dan dia malah tersenyum dengan puas.

"Kenapa kamu tidak bertanya kepada saya?" tanyanya dengan mencodongkan badan ke wajahku sehingga membuat aku langsung mengundurkan wajah.

"Pak itu urusan bapak. Saya juga tidak mau menjadi sekretaris bapak." dengan dagu yang terangkat aku langsung menatapnya dengan tajam. Tidak peduli dia atasanku atau bukan karena aku sudah mulai muak dengan semuanya. Aku lihat dia menjauhkan wajah dariku dan dia langsung memalingkan ke arah lain.

"Ya sudah kamu silahkan keluar dan tolong lihat jadwal saya hari ini." aku menganggukan kepala dan sebelum aku keluar dari ruangannya aku sempat pamit terlebih dahulu kepadanya.

Gedung yang tinggi, pemandangan yang bagus untuk ibukota yang indah namun penuh dengan kemunafikan. Sejenak aku memandang awan yang hari ini begitu cerah sehingga burung berlari-larian di langit. Ku tatap papan nama yang terlihat sangat jelas dengan namaku. "Bukan pilihanku." cicitku dengan suara pelan.

Dengan sedikit rasa malas masih ada, aku membuka laptop dan juga mempelajari semuanya yang notifikasi yang masuk begitupun dengan semua agenda hari ini dan besok.

Cukup lama aku berkutat dengan semua agenda dan saatnya kini sudah berada di jadwal pertemuan dengan Pt. Grasuara. "Tok...tok...tok. Permisi pak."

"Ya masuk." setelah mendapatkan izin aku langsung masuk ke dalam dan setelah itu aku langsung menyerahkan jadwal hari ini dan juga beberapa pertemuan dengan para kolage. "Sudah siap semuanya?" aku menganggukan kepala.

"Sudah kamu pelajari juga?" dan lagi-lagi aku menganggukan kepala.

"Ya sudah kalau begitu kita harus berangkat dari sekarang."

"Baik pak," dengan langkah tegas dia mengambil jas dan juga mengambil ponsel yang tergeletak di meja.

"Bawa materinya saya menunggu di depan loby." ujarnya dan aku pun menganggukan kepala setelah langsung membawa perlengkapan meeting dengan Pt Grasuara.

Suasana canggung terasa di antara kami tidak memakai jasa supir kantor sehingga kami hanya berdua di dalam mobil.

"Bagaimana kabar Ibu?" aku terdiam dan langsung mengalihkan pandangan ke arahnya. Aku hanya diam saja dan dia sepertinya kesal denganku sehingga membuat dia malah berdecak denganl.

"Airin bagaimana kabar Ibu?"

"Pak saddam, saya mohon bapak bersikap seperti profesional . Tolong kita engga sedekat masa lalu sebab kita sudah bukan siapa-siapa." ucapku dengan menyatukan kedua tangan di dadaku dan dia malah terdiam sembari menbuang nafas dengan kasar.

Lubuk AksaraWhere stories live. Discover now