Chapter 30

1.9K 95 0
                                        

Biasanya Juju takut untuk membuka jendela dimalam hari karena bayangan makhluk besar dan tinggi yang berbulu lebat dengan gigi taring serta matanya yang lebih besar dari jengkol yang sering dimasak emaknya. Makhluk ini dimasa kecilnya disebut genderuwo. Ia juga takut dengan bayangan wanita berjubah putih panjang dengan rambut panjang yang bergelantungan diatas pohon didepan kamarnya, mahkluk yang bernama kuntilanak ini selalu ada dalam fantasi horornya hingga kini.

Ternyata umurnya yang sudah semakin menua tak membuat dirinya melupakan kisah hantu yang sering didengar dan ditontonnya saat ia masih kecil. Jangan pernah salahkan dirinya yang sudah perawan tua tapi masih penakut, salahkan para tetua dan lingkungan yang mencekoki masa kecilnya dengan kisah mahluk mengerikan yang konon katanya suka menculik anak kecil. Tapi malam ini semua bayangan itu sirna oleh kemeleoan yang tak jelas asal muasalnya.

Diraihnya pena dan buku harian yang terletak dimeja. Pandangannya mengarah keluar jendela kamar, mengamati langit hitam yang sepertinya sedang tak bersahabat malam ini. Hanya bulan yang masih ramah menyinari sebagian planet bumi dimana ia duduk saat ini. Setidaknya kegelapan malam tidak terlalu menakutkan karena keramahan sinar bulan. Kenyamanan ini membuatnya ingin bermanja dengan pena dan buku hariannya. Beginilah nasib perawan tua yang sudah hampir berumur tigapuluh kalau penakut dan masih tinggal dengan emaknya yang janda, buku harian adalah terapi gratis dan sangat efisien.

Saat memandangi langit malam gelap, iapun bertanya-tanya, kapan terakhir kali kota ini memiliki langit cerah? Pertanyaan itu membawanya pada memori masa kecilnya. Masa dimana tempat ini memiliki pesona alam seperti ladang sawah, danau serta pantai.

Disiang hari matahari akan menunjukkan langitnya yang berwarna biru cerah. Ya, itu dia! langit bersih tanpa polusi sering ia lihat dimasa kecilnya! Dirinya bebas berenang dipantai tanpa harus khawatir dengan pembuangan limbah yang membuat air laut menjadi hitam dan terkontaminasi. Lalu danau berisi ikan dan belut yang ia bisa tangkap dan membawanya kerumah lalu dijadikan makan siang oleh emaknya. Dan sawah? Sawah adalah pengalaman tempat bermainnya yang terbaik. Dirinya bisa bebas berlarian diladang sawah mengejar capung yang seliweran diatas padi yang hampir dituai lalu pulang kerumah dengan pakaian kotor penuh lumpur.

Tetapi siapa yang menyangka beberapa tahun kemudian semua keindahan itu lenyap. Sekarang tak ada lagi tempat untuk anak kampung wilayahnya bermain seperti dirinya dimasa kecil. Beberapa temannya dimasa kecilnyapun sudah pindah keluar kota karena tempat tinggalnya yang digusur untuk bagian dari proyek pelebaran jalan tol. Danau-danau diuruk dengan tanah hitam yang baunya sangat menyengat. Kemudian setelah beberapa tahun tanah kosong ini menjadi pemukiman yang tak jelas ijinnya. Ladang sawah yang luas itupun ikut disulap menjadi berbagai macam pabrik, begitupun dengan pantai, tak ada lagi warga yang mau berenang karena airnya yang pekat hitam, berbau oli yang menyengat serta sampah plastik yang menimbun dipinggiran pantai. 

"Ahh." Juju menyandarkan punggungnya kekursi sambil menghembus panjang napasnya. Dia menutup kedua wajahnya dengan tangan. Memori masa kecilnya sungguh sangat berharga. Berbeda dengan masa sekarang, hanya untuk melihat pohon cemara dan sawah, orang akan rela pergi keluar kota dan terjebak dalam kemacetan berjam-jam. 

Pena dalam tangan Juju mulai bergerak, menuliskan kata demi kata dalam buku hariannya.

Dear self,

Malam ini gua teringat masa kecil yang bahagia. Menurut gua sih bahagia karena meskipun emak gua bokek dan gua cuma bisa main disawah, laut atau danau sampai belepotan, gua bahagia. Apa yang menyebabkan gua bahagia saat itu ya? Apakah karena sawah, pantai dan danaunya? Atau karena gua hanya anak kecil yang belum memiliki tanggung jawab dan emosi yang begitu ribet seperti orang dewasa?

Seandainya gua bisa bahagia seperti masa kecil. Murni bahagia. Tanpa harus ada rasa bersalah karena telah menyakiti seseorang. Tuh kan, gua ingat lagi sudah menyakiti hati seseorang. Ya tuhan, kenapa gua nggak bisa hilangkan rasa bersalah ini? Kenapa orang dewasa sulit sekali untuk bahagia meskipun punya segalanya? Well, gua nggak memiliki segalanya tapi kenapa saat gua dewasa bahagia itu jadi harus seperti dicari-cari? Hello bahagia, dimana lo? Dikolong tempat tidur? Di semur jengkol yang emak masak? Kalo memang ada dihati, dimananya? Kalo bahagia itu dihati gua, kenapa gua masih punya rasa bersalah ke lelaki itu meskipun gua sudah bahagia dengan lelaki lain. Benarkah gua bahagia dengan lelaki itu? Benarkah gua sangat mencintainya?

Ah sudahlah, self. Gua lelah. Bye-bye. 

Juju menutup buku hariannya dan menoleh ke jam dinding yang sudah menunjukkan pukul  sebelas malam. Dia beranjak dari kursi dan menutup jendela kamarnya lalu meregangkan tubuhnya. Seluruh tubuhnya terasa penat dan kaku. Sudah beberapa hari ini dia absen dari kelas yoga. Malam ini ia berdoa agar dapat tertidur nyenyak dan melupakan kejadian hari ini. "Semoga saja. Amin" Bisiknya sebelum merebahkan tubuhnya ketempat tidur. Baru saja bersiap-siap menarik selimut, notifikasi diponselnya berbunyi.

Gareth: Sweet dreams.

Bunyi pesan itu. Juju tersenyum membacanya. "You too." Bisiknya seakan berbicara dengan sipengirim pesan. Tapi bukan kalimat itu yang ia kirim. 

* * *

Setibanya diapartemen Gareth langsung menghempaskan tubuh kekasurnya yang empuk bagai gumpalan awan. Pikirannya melayang pada wanita yang baru saja dikunjungi, lelaki itu langsung meraih ponselnya dari saku celananya. 

"Sweet dreams."

Pesannya terkirim. Lelaki itu membuka kemejanya dan bersiap-siap untuk mandi. Notifikasi pesan terdengar sebelum ia masuk kekamar mandi. Dengan cekatan ia mengambil ponselnya dari tempat tidur. 

Hanya satu emoji? Pelit sekali anak itu.

Tapi itu sudah cukup membuatnya bahagia. Paling tidak hari ini dia mendapatkan nomor ponsel Juju. 

"Ju, boleh minta nomor kamu?" Tanyanya saat mereka diruang tamu berdua sembari menikmati buah mangga yang dipetik dari pekarangan belakang rumah Juju. Mendengar pertanyaan lelaki itu, Juju melirik lalu tersenyum. Dia menyodorkan telapak tangannya ke lelaki yang sedang duduk disampingnya.

"Sini hapenya." 

Lalu Gareth memberikan ponselnya. Lelaki itu memperhatikan jari-jari kurus lentik yang sedang mengetik diponselnya dan beberapa detik kemudian ponselnya sudah berpindah ketangannya. Begitu membaca nama yang tertera diponselnya lelaki itu tertawa. INI JUJU, itulah nama yang diberikan oleh gadis itu diponselnya.

Benarkah dirinya cukup bahagia karena Juju sudah memberikan nomor ponselnya? Bukankah malam ini dirinya menyetir seperti orang gila kerumah gadis itu karena cemas dia akan diambil lagi oleh lelaki yang bernama Bagas? Jika gadis itu mencintai dirinnya seharusnya dia tak perlu khawatir. Apakah gadis itu mencintainya? Seingatnya dia belum membalas ucapannya malam itu, malam dimana dia mengucapkan kalimat sakral yang belum pernah ia ucapkan kepada gadis manapun didunia ini.

Gareth memejamkan matanya, aroma ceri dan air hangat yang mengalir di bathup seakan mengobati penat diseluruh tubuh dan pikirannya. 


* * *




KOPI HITAM JUJUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang