Chapter 37

1.7K 98 0
                                        

Lelaki itu duduk disebuah rakit bambu yang mengapung diatas telaga air yang jernih lalu mengulurkan tangannya ke Juju yang berdiri diatas panggung kayu. Juju hanya menyambutnya dengan senyum  lalu melepaskan selendang sutra yang melingkar dilehernya dan melemparkannya ke arah lelaki itu.

Lelaki itu berusaha menangkapnya namun selendangnya mendarat menutupi wajahnya. Lelaki itupun kehilangan keseimbangan dan jatuh kedalam air. Juju hanya tertawa saat lelaki itu jatuh tercebur kedalam air, tubuhnya tenggelam dan timbul kepermukaan air, bergerak tak beraturan, tangannya berusaha meraih rakit yang tak jauh darinya.

"Dia hanya pura-pura" pikir Juju.

Diapun berlanjut mentertawakan lelaki itu. Namun setelah beberapa saat  tubuh lelaki itu semakin lama semakin tenggelam. Jujupun langsung terjun kedalam air namun tubuh lelaki semakin jauh masuk kedalam telaga air yang gelap dan ia kesulitan untuk menjangkaunya.

"G!" Juju berteriak memanggil nama lelaki itu, napasnya tersengal, jantungnya berdebar tak beraturan. Mimpi buruk itu hadir lagi dalam tidurnya. Juju menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Tak kuasa menahan sesak didadanya karena mimpi itu tangisnyapun pecah. Isak tangis Juju samar-samar terdengar oleh Devi yang baru saja mengambil air minum didapur. 

"Ju?" Panggil Devi sambil mengetuk pintu kamar, tak ada jawaban dari dalam kamar, iapun membuka pintu kamar. Saat melihat sahabatnya yang sedang menangis ditempat tidur, iapun segera menghampirinya. 

"Ju, kenapa?" Devi memeluk tubuh sahabatnya yang tubuhnya tergoncang karena isakan tangis.

"Gua mimpiin dia lagi." Kata Juju dengan terbata. 

"Ya tuhan, Ju."  Devi tak tahu apa yang harus diucapkannya kepada wanita yang sedang dipeluknya itu. Dia membiarkan wanita itu menangis sampai lelah dan akhirnya jatuh tertidur. Setelah Juju tertidur pulas, Devi beranjak dari tempat tidur meninggalkan kamar tidur tanpa suara. 

Ditepi kolam renang, Devi duduk sendiri merenung memikirkan keadaan wanita itu. Devi mengira dengan lamanya waktu dan kesibukan Juju disini, wanita itu akan  melupakan lelaki itu. Namun hingga duabelas tahun berlalu, wanita itu masih terjebak dalam bayangan lelaki yang tak tahu dimana rimbanya. 

"Ju, lo berhak bahagia. Jangan siksa diri lo begini." Katanya dengan airmata yang mengalir saat memeluk wanita itu. Hatinya ikut merasakan penderitaan wanita itu. Benar kata pepatah, lebih baik sakit gigi daripada sakit hati karena manusia memiliki lebih banyak gigi, jadi kalau satu sakit masih ada yang lainnya, tetapi hati kalau sakit? hati siapa yang bisa menggantikannya? Seandainya saja manusia  memiliki cadangan organ hati tentunya Juju tak akan semenderita ini. Devi mengeluh. Mungkin begini rasanya ditinggal oleh cinta pertama, mati segan hiduppun tak jelas. Dimata orang lain Juju nampak bahagia menjalani hidupnya selama dubelas tahun ini karena hidupnya terlihat sukses. Ia tak pernah menyinggung nama lelaki itu, apalagi membahasnya. Dia berpikir wanita itu baik-baik saja. Namun siapa yang menyangka kalau dia menangis ditengah malam merindukan lelaki itu.

Suasana pagi sudah ramai dengan dua anak Devi yang sedang bermain dikolam renang. Emak membantu Wayan menyiapkan sarapan didapur, sementara Devi dan Juju duduk ditepi kolam menikmati kopi dengan pemandangan ladang sawah yang membentang dihadapan mereka. 

"Ju, Gua mau sebulan disini, boleh?" Tanya Devi. Wajah Juju masih nampak muram dan sembab karena tadi malam. 

"Boleh sama suami lo?" Juju balik bertanya. 

"Gua udah ngomong. Nggak apa-apa. Anak-anak libur juga kok."  Balas Devi. Pagi tadi sebelum semua orang bangun, Devi langsung menghubungi suaminya menceritakan tentang rencananya untuk liburan lebih lama bersama Juju, berharap kalau kehadirannya bisa mengurangi kesedihannya. Tanpa keraguan suaminya menyetujui niat baiknya. Setelah menelepon suaminya, Devi langsung mengunjungi emak dikamarnya, menceritakan kejadian tadi malam soal Juju menangis. Emakpun memutuskan untuk menemani anak semata wayangnya itu, mungkin ini sudah waktunya untuk pensiun usaha kateringnya dan membiarkan keluarganya yang lain mengurusnya agar ia bisa memberika perhatian penuh kepada kesehatan mental putrinya. 

"Emak bersyukur ada kamu yang selalu mendampingi Juju. Emak nggak tahu harus bagaimana lagi supaya dia bisa bahagia. Emak nggak mau mati dulu karena Juju masih hidup merana kayak perawan tua." Kata emak tersendat menangis membayangkan nasib putrinya.

Devi memeluk dan mengelus punggung emak. "Nasib sudah ada yang mengatur, mak. Kita cuma bisa berdoa dan menjalaninya. Juju akan baik-baik aja mak." Ujar Devi menenangkan emak. Padahal dirinya juga khawatir dengan keadaan Juju. Bukan karena wanita itu akan berakhir menjadi perawan tua namun  karena Juju yang tak pernah sekalipun memberikan kesempatan kepada pria lain untuk mencintainya, bahkan terhadap Bagas, lelaki yang pernah mencoba berulang kali membuka hati Juju.

"Dia mencintai lelaki itu, Dev. Bukan aku." Kata Bagas suatu hari saat mereka bertemu. Bagas akhirnya memutuskan kembali ke Jerman demi masa depannya yang lebih cerah, yang ia pikir dapat dirajutnya bersama juju. Beberapa tahun kemudian Devi mendapatkan kabar dari lelaki itu kalau ia sudah menikah dengan teman kuliahnya di Jerman dan memiliki tiga anak.

Semua orang berbahagia, kecuali Juju, yang masih terjebak dengan masa lalunya. Selama duabelas tahun ia berusaha ikut mencari lelaki yang menghilang tanpa jejak. Dulu ia pernah mengaggumi cinta yang dimiliki oleh lelaki itu terhadap Juju, tapi saat ia pergi begitu saja meninggalkan sahabatnya, Devipun mulai membencinya, terlepas dari segala kondisi yang lelaki itu sedang hadapi. Dalam pencariannya  beberapa tahun, dia hanya ingin bisa memiliki kesempatan berbicara ke lelaki itu sekali saja dan mengatakan: "Silahkan ke neraka dengan tenang, wahai lelaki pengecut." 

Tentu saja itu hanya sebuah fantasinya belaka, ia tak bisa melakukan itu meskipun bisa bertemu dengannya karena lelaki itu sudah mengikat hati sahabatnya. Seorang wanita yang tak mengencani pria manapun selama lebih dari duabelas tahun, sudah dipastikan wanita itu memutuskan untuk hidup sendiri seumur hidupnya. Mengenaskan tapi itulah dahsyatnya sebuah cinta. 

Menjelang sore, Juju menghadiri kelas vinyasa yoga dengan guru favoritnya, Made. Lelaki muda berumur duapuluh enam itu memiliki tubuh kurus berotot dan sangat mahir dalam yoga pose. Bukan hanya mahir dalam dunia yoga, namun juga martial art, tari samba, dan sederet keterampilan lainnya. Sudah hampir tiga tahun Made mengajar yoga distudio Juju dan kelasnya tak pernah sepi. Mayoritas yang menghadiri kelasnya adalah kaum hawa berasal dari berbagai manca negara. Dia bukan saja guru favorit yoga untuk Juju namun hampir semua wanita yang menghadiri kelasnya. Tak sedikit wanita yang jatuh cinta kepada Made tetapi lelaki itu tak pernah tergesa-gesa untuk menetapkan hatinya hanya pada satu wanita dan ini membuat wanita yang menyukainya semakin penasaran.

Setelah kelas berakhir, Juju menghampiri Made yang masih dikelilingi beberapa gadis bule. Melihat Juju yang berdiri diantara para gadis, Madepun langsung mendekatinya. "Bu Juju, apa kabar? Sudah berapa kali nggak liat ibu dikelas saya." Katanya dengan senyum khas manisnya. 

"Biasa De, sibuk tanam singkong. Kelasnya tadi enak sekali. Makasih ya De." Kata Juju. Mendengar ucapan wanita pemilik studio itu, Madepun tersenyum.  "Oh ya bu, saya dengar dari Pak Agung katanya nanti ada guru meditasi baru?"

"Iya De. Saya mau nyoba kelasnya besok." Balas Juju. 

"Saya juga mau coba. Besok pagi ya Bu?" 

"Iya besok pagi. Kita ketemu lagi besok pagi ya De?" Juju mengucapkan salam namaste ke Made lalu pergi meninggalkan lelaki yang masih dikelilingi oleh para gadis muda cantik. Juju menoleh ke arah Made sekilas lalu tersenyum. Masa muda yang penuh energi positif memang selalu menggairahkan.


* * *



KOPI HITAM JUJUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang