Duabelas tahun sudah berlalu dan waktu yang panjang ini tak terasa sudah dijalani oleh Juju dipulau surga ini. Ia tak pernah menyesali sedikitpun untuk pindah ke pulau yang terkenal sebagai pulau dewata ini, apalagi untuk memilih tempat ini sebagai tempat usahanya adalah sebuah keputusan yang tepat.
Juju teringat kembali sebuah nasehat dari seorang tetua lokal yang dihormati didaerah itu, sebelum ia memutuskan untuk membeli tanah seluas lima hektar are itu.
Tetua itu berkata: "Kalau nak Juju jadi membeli tanah ini, saya harap bisa berguna untuk orang banyak dan bisa membawa kebaikan dan berkah dalam hidup nak Juju juga."
"Semoga ya Pak." Balas Juju saat itu. Niatnya memang sudah bulat untuk membeli tanah yang cukup membangun yoga studio dan pelatihan yang berhubungan dengan pemulihan tubuh dan pikiran. Impiannya menjadi nyata saat seseorang mengabari tanah yang cukup murah karena pemiliknya sedang membutuhkan uang. Krisis ekonomi yang sedang melanda negeri duabelas tahun silam membuat para pemilik properti menjualnya dengan harga drastis. Jujupun menggunakan kesempatan ini untuk mengeksekuksi impiannya.
Tak butuh waktu lama untuk mensahkan tanah lima hektar are itu menjadi miliknya. Sebuah kekuatan mendorongnya untuk mewujudkan impiannya dan siapa sangka setelah sepuluh tahun tempatnya kini menjadi besar dan terkenal bukan hanya dinegeri sendiri namun dimanca negara. Berbagai macam tamu dari belahan dunia datang untuk kepentingan spiritual, meditasi, ataupun pelatihan yoga.
Dengan dibantu oleh seorang manager bernama Agung, Juju mengelola sepuluh studio yoga, beberapa cottage dan restoran. Agung bertanggung jawab atas keseluruhan usaha ditanah berukuran lima hektar are itu. Jujupun bermurah hati saat pemberian bonus, karena tanpa lelaki itu kesuksesan usahanya tak akan pernah terjadi.
Seperti biasanya setiap pagi Juju bertandang ke restoran yang berada ditengah yoga studio. Restoran itu berdesain terbuka dan memiliki fasilitas kursi dan meja yang terbuat dari kayu mahagoni serta beratapkan pohon Ivy yang rimbun. Kesejukan dan keheningan pagi inilah yang membuat Juju gemar mengunjungi restoran dipagi hari sebelum ia memulai aktifitas berkebunnya.
Seorang wanita muda berkebaya dengan nampan ditangannya tersenyum menghampiri dan menyapa Juju: "Selamat pagi bu."
Juju balas tersenyum: "Selamat pagi Kadek."
"Kopi ya bu?" Tanya Kadek dengan dialek Balinya.
"Iya Kadek. Makasih."
Wanita yang dipanggil Kadek itu kemudian berlalu meninggalkan Juju. Juju mulai mengenakan headsetnya lalu mendengarkan sebuah podcast. Tak lama kemudian Kadek kembali dengan kopi hitam disebuah nampan kayu kecil. Juju tersenyum saat gadis muda itu meletakkan cangkir kopi didepannya. "Makasih." Kata Juju dengan suara hampir berbisik.
Kadekpun berlalu meninggalkan bosnya dengan ritual paginya. Tak ada satupun yang mengganggu bahkan menyapa Juju saat headset sudah terpasang dikepalanya, apapun berita yang akan disampaikan mereka akan menunggu hingga ia melepaskan headsetnya. Hanya saat ritual pagi saja Juju menerapkan aturan tak mau diganggu karena pagi hari untuknya adalah waktu yang baik untuk mendengarkan sesuatu yang positif.
"Bu, tau nggak si Paul yang dari Italia?" Tanya Kadek setelah Juju melepaskan headsetnya.
"Iya. Kenapa dia?" Juju mulai mencium aura gosip dari Kadek dan ia menikmatinya karena hanya gadis muda itu yang sangat berekspresif saat menyampaikan sebuah berita.
"Dia ternyata selingkuh sama si Valeria Bu."
"Lho, bukanya Selvi pacarnya cantik sekali?" Tanya Juju seraya menyeruput kopi hitamnya.
"Saya juga kaget, bu. Lagian dia guru yoga, masa selingkuh sih bu."
Juju tersenyum mendengar ucapan polos gadis muda itu. "Mungkin dia bosen sama si Selvi."

KAMU SEDANG MEMBACA
KOPI HITAM JUJU
רומנטיקהTidak pernah terbersit sedikit pun dalam hati dan pikiran Gareth kalau dia akan memiliki perasaan istimewa kepada gadis minimalis itu. Untuk memastikan perasaannya, dia pun pergi meninggalkan segala atribut yang melekat dalam dirinya: kekayaan, kete...