Chapter 4

4.2K 315 2
                                    

Setibanya di rumah Juju langsung menuju kamarnya. Dia tidak mencari Emaknya apalagi mengintip bakul nasi di dapur seperti yang biasa dia lakukan. Hatinya masih kecewa dengan kejadian tadi siang. Seharusnya pertemuan dengan lelaki itu adalah pertemuan yang menyenangkan. Saat  lelaki itu berjanji untuk menemani mengambil barang di pusat grosiran, tentu saja dia sangat bahagia. Apalagi itu atas keinginannya sendiri. Sampai dia harus menandai hari ini  di kalendernya dan menantikan momen ini. Sampai dia harus membeli baju baru demi tampil menawan di depan lelaki itu.

Namun, lelaki itu malah membawa mantannya. Terlebih sikap acuhnya yang sangat menyebalkan. Juju menghela napasnya, mengingat kembali perkenalannya dengan lelaki itu dua bulan lalu.

Juju sudah bekerja di yayasan milik  ibunya Gareth selama satu tahun. Selama itu pula dia belum pernah bertemu dengan Gareth yang tinggal di Australia. Namun, Juju sering mendengar rumor anak bosnya yang konon sangat tampan dan playboy. Hingga pada sebuah acara perayaan milad di kantor  yayasan. Dia tak pernah melupakan momen pertamanya bertemu dengan lelaki penggemar wanita itu.   

Setelah seharian sibuk dengan tamu undangan, Juju memutuskan untuk menghilang sejenak dari keramaian. Dia memilih dapur untuk menghilangkan penatnya sekaligus menikmati secangkir kopi hitam kesukaannya dengan bersandar di tembok. Sedang asyiknya melamuni nasib, tiba-tiba seorang lelaki menerobos pintu dapur hingga mengakibatkan  cangkir yang digenggam Juju jatuh dan sebagian kopi mengotori kemeja putihnya. Hampir saja sumpah serapah keluar dari bibir perawannya. 

"Sorry, sorry. Saya nggak tahu ada orang disini," ujar lelaki itu dengan gugup. Lelaki itu segera mengambil tisu dan membersihkan kopi yang menodai kemeja Juju.

"Masih panas ya?" tanya lelaki itu seraya memandang Juju dengan perasaan bersalah.

Juju tak membalasnya. Kemeja putih satu-satunya kini sudah ternoda. Dengan kopi hitam pula.  Dia akan membutuhkan usaha keras untuk membersihkannya. Tangan lelaki itu berhenti saat melihat  noda kopi di bukit dada Juju. Entah siapa yang memandang lebih dulu. Pandangan mereka bertemu dan terkunci.

"Kayaknya kamu bersihin sendiri yang itu," ujar lelaki itu seraya tersenyum menyeringai dan  memberikan tisu ke Juju. 

"Mau ngapain ke sini sih mas?" tanya Juju dengan nada kesal. 

"Saya mau cari galon." 

Juju mengawasi lelaki itudari atas sampai bawah lalu ke atas lagi.

Dari penampilannya nggak cocok jadi tukang galon.

Merasa dirinya sedang dicurigai seperti maling, lelaki itu tersenyum sambil mengulurkan tangannya.

"Saya Gareth," ujarnya dengan lesung pipit di kedua pipinya. 

"Juju,"  balasnya acuh tak acuh. Dan saat itulah Juju baru menyadari kalau nama yang baru saja disebut lelaki itu sangat tak asing di telinganya. Dan di sanalah hari perkenalan mereka, di dapur yayasan. Tak ada yang mempercayai kisah Juju tentang bagaimana mereka bertemu. Termasuk sahabatnya, Devi.

"Sumpah lo nggak tahu kalau itu Gareth?" tanya Devi begitu Juju selesai bercerita tentang perkenalannya dengan anak ibu bos mereka.

Juju tersenyum mengangguk. "Gua kira tukang galon." 

"Lo memang nggak waras! Nuduh orang ganteng kayak gitu tukang galon!" amuk Devi.

Sejak perkenalan mereka dua bulan lalu, Gareth mendadak rajin berkunjung ke yayasan. Walau sebelumnya lelaki itu selalu menyempatkan diri untuk ikut andil dalam setiap program di yayasan. Kemudian terdengar kabar kalau lelaki itu memutuskan untuk menetap di Jakarta. Juju jadi semakin dekat dengan anak bosnya itu, apalagi  program yang sedang dikerjakan melibatkan lelaki itu. Tak hanya itu, mereka berdua jadi sering keluar bareng meski sekadar untuk makan siang. Bahkan lelaki itu mau pergi ke warung sederhana bersama Juju. Juju mulai menyukai sisi lain lelaki itu. Ternyata anak bosnya yang popular dengan kehidupan glamoris dan gemar gonta ganti pasangan layaknya ganti baju, lelaki itu juga memiliki sisi sederhana. Benih-benih rasa suka di hati Juju mulai tumbuh, apalagi saat lelaki itu mulai bersikap hangat padanya - memeluknya, mengantarnya pulang, menatap matanya dengan lembut. 

Terutama momen seminggu lalu, momen di mana Juju mengira kalau lelaki itu memiliki perasaan istimewa padanya. Malam itu Juju sedang lembur di kantor, dia terkejut dengan kedatangan lelaki itu yang tiba-tiba. Begitu pun dengan Gareth.

"Belum pulang Ju?"

"Belum."

Gareth memandang sekeliling ruangan yang sudah gelap kecuali sinar lampu yang ada dimeja Juju. Dia melirik  jam tangannya. "Sudah jam sepuluh. Kamu nggak kemalaman pulangnya, Ju?"

Juju mengabaikan ucapan lelaki itu, tangannya sibuk membereskan kertas yang berserahkan di mejanya. Melihat kesibukan Juju, lelaki itu pergi meninggalkan ruangan. Juju memandang sekilas punggung lelaki itu hingga hilang dari ruangan lalu memutuskan untuk mengakhiri pekerjaannya secepatnya. Ketika melangkah ke tempat parkir Juju terkejut melihat lelaki itu masih  di sana sedang merokok.

"Aku pikir kamu nggak ngerokok," ujar Juju begitu di depan lelaki itu.

Gareth langsung mematikan rokoknya. "Lagi suntuk aja." 

Malam itu mereka menghabiskan waktu berbincang di tempat parkir. Gareth menceritakan soal rekan bisnisnya yang memiliki karakter buruk. Saat lelaki itu menanyakan pendapat Juju, dia membalas.

"Kalau  kamu nggak happy ngapain di lanjutin. Pada akhirnya uang bukan segalanya, tapi respect juga penting."

Mendengar ucapan Juju lelaki itu tersenyum. 

"Sesimpel itu ya ternyata," ucap Gareth. 

"Ya, kenapa harus dibuat complicated kalau bisa simpel? Kecuali kamu cinta sekali sama tuh rekan bisnis. Boleh deh kamu lalui semua itu. Pertanyaannya, apakah itu worth it? Jangan diperjuangkan kalau nggak worth it,"  celoteh Juju dengan santainya.

Gareth menatap gadis itu sesaat lalu tertawa. Dan hampir tengah malam Juju baru memutuskan untuk pulang. Seperti biasanya, lelaki itu memberikan pelukan selamat tinggal tetapi kali ini dengan bisikan, "I'm fucking love you." Pelukan lelaki itu lebih erat dari biasanya dan membuat Juju enggan melepaskannya. 

* * *

Juju merebahkan tubuhnya di tempat tidur, pandangannya menerawang langit kamar. Dia harus menyelesaikan urusan hatinya malam ini juga. Kekecewaan ini tidak boleh terjadi berlarut-larut, apalagi sekarang mereka harus bekerja sama dalam proyek yang sedang dikerjakan. Juju beranjak dari tempat tidurnya menuju meja lalu meraih buku hariannya. Pena di tangannya mulai bergerak menulis.

Dear diary,

Dari awal gua juga sudah tahu kalau dia tukang galon yang doyan gonta-ganti cewek kayak ganti kaos kaki. Seharusnya gua nggak perlu sakit hati begini melihat dia sama mantannya terus nyuekin gua. Seharusnya gua nggak perlu ambil hati dengan kebaikan dia terus berharap lebih. Seharusnya gua sadar diri juga. 

Juju berhenti menulis. Matanya membendung. Dia menahannya untuk tak jatuh ke pipinya lalu melanjutkan tulisannya.

Pokoknya gua nggak mau lebay lagi kayak keledai yang dicucuk hidungya. Gua harus semangat apapun yang terjadi. Ingat Ju, masih banyak jalan menuju Jakarta. ♡

Juju menghela napas seraya memandang langit dari jendela kamarnya. Tiba-tiba terbesit sebuah rencana dalam kepalanya. Dia tersenyum menyeringai. 


* * *

KOPI HITAM JUJUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang