Siti Zubaidah. Itulah nama lengkapnya. Saat di bangku SMP ia pernah memprotes Emaknya karena nama yang diberikan.
"Macam mana nama Siti Zubaidah terus dipanggil Juju, Mak? Lagi pula nggak ada satu pun huruf J dinama lengkap," protesnya saat ia masih berumur tiga belas tahun.
Berawal dari keluarga lah sehingga seluruh dunia memanggilnya Juju. Seluruh dunia ini adalah wilayah RT dan sedikit mengarah ke tingkat kelurahan.
"Ya ampun Juju. Cuma nama aja dibikin ribet. Nama itu adalah doa. Perempuan yang punya nama Siti Zubaidah itu sudah pasti bawa rezeki, cantik, pintar, kuat dan sebagainya. Pokoknya semua yang membawa kebaikan ada di nama lengkap kamu," celoteh Emak berusaha meyakinkan putri semata wayangnya.
Tentu saja ia tak memedulikan arti dari namanya karena tetap saja nama itu tak mewakili era masa kini. Setidaknya Emak bisa memberikan nama Jessica, Susi, Debra, atau Zebra? Pokoknya apapun yang terdengar lebih modern. Tapi percuma saja berdebat dengan Emak, toh namanya sudah sah tercatat di catatan sipil. Apa yang bisa ia perbuat? Mendobrak kantor catatan sipil ditengah malam dan menghapus namanya lalu menggantinya dengan yang baru? Pernah terbesit dalam otak liarnya untuk melakukan itu tapi sepertinya terlalu riskan untuk dirinya tak berakhir di penjara.
Ia akhirnya harus menerima kodrat panggilan namanya. Lagi pula kini ia sudah menjadi gadis muda berkategori setengah dewasa, yang artinya sudah bekerja dan bisa mencari nafkah sendiri namun masih numpang tempat tinggal dengan ibunya yang seorang janda.
Perlahan Juju mulai melupakan soal namanya, bahkan seringkali ia lupa dengan nama lengkapnya sendiri. Sesekali ia mengecek kartu identitasnya hanya untuk mengingat kembali masa di mana dirinya begitu rentan dengan self image dan komentar orang lain tentang dirinya. Kini ia sudah berusia dua puluh dua tahun, usia dimana dirinya seharusnya sudah cukup memiliki uang untuk bersenang-senang dan memiliki seorang teman pria untuk berkencan.
Namun kenyataan hidupnya jauh dari apa yang ia impikan.
🌻
Juju tersentak bangun mendengar lantunan Linkin Park dari ponselnya. "Alarm kampret!" Bentaknya lalu melempar ponselnya ke tempat tidur. Belum sempat ia meredam jantungnya yang berdegup kencang, sebuah teriakan dari luar terdengar.
"Juuu! matiin itu musik. Astaga. Kebangetan banget nih anak." Teriakan Emak terdengar seperti suara lengkingan kapten dalam sebuah film zombie yang ia tonton tadi malam, yang lengkingannya bisa membuat seluruh zombie terbangun dan mengejar mangsanya. Itulah suara Emak. Sungguh dirinya berharap suatu hari Emak akan lebih santun saat memanggil namanya di pagi hari.
"Iya Mak!" Balasnya sambil bersungut bangun dari tempat tidurnya.
Ini bukan pertama kalinya Juju merasakan seperti terkena serangan jantung karena teriakan emak dan bunyi alarm di ponselnya. Kalau ia harus memilih antara bunyi alarm musik metal dari ponselnya atau suara Emak yang bisa membangkitkan orang mati dari kuburnya, tentu saja ia lebih memilih alarm ponselnya. Tapi sayangnya solusi memilih itu tak ada dalam kamus hidupnya, Juju harus menerima keduanya. Karena ia hanyalah seorang gadis berumur dua puluh dua tahun yang gajinya hanya cukup untuk membeli kancut dan kutang.
Syukurnya Juju tak hobi membeli bedak atau produk kecantikan lainnya. Berpenampilan super minimalis sangat cocok untuk dirinya karena ia merasa tak cocok menjadi tipe gadis girly seperti teman lainnya. Bukan berarti ia tak bisa berdandan, sesekali tubuhnya yang semampai mengenakan rok dan sedikit olesan lipstik dibibirnya yang mungil dan berisi itu. Juju melakukan itu hanya sebagai pembuktian ke khalayak ramai bahwa dirinya adalah gadis tulen, bukan jadi-jadian. Lagi pula hidup minimalis itu sangat cocok untuk isi kantongnya yang sangat minus.
Pagi ini suasana hati Juju sedang berbeda. Meskipun bangun paginya tak terlalu menyenangkan namun saat ia memikirkan seseorang yang akan ditemuinya siang ini seketika itu juga bibirnya mengembang.
"Yesss!" Teriaknya sambil mengangkat kedua tangannya keatas.
Juju meraih ponselnya dan membuka kotak pesan. Matanya menangkap sebuah nama yang spesial. Dua bulan terakhir ini nama itu telah menjadi favorit untuk dilihat dilayar ponselnya.
Gareth: Hi Ju. Jam berapa nanti kita ketemu?
Juju tersenyum lebar membaca pesan dari lelaki itu. Apapun isi pesannya, membaca pesan dari lelaki itu ibarat doping yang dapat meningkatkan energinya berlipat ganda sekaligus bisa melupakan segala kesulitan dalam hidupnya. Meskipun kesulitan hidupnya hanyalah soal membeli kancut dan kutang.
Juju: Jam 11 ya.
Balasnya dengan singkat dan padat. Sepadat nasi padang yang sering ia beli dekat rumahnya. Juju tak mau kegembiraannya terbaca dalam pesannya. Apalagi lelaki itu sudah memiliki banyak penggemar perempuan dalam kehidupannya sehari-hari. Juju mengeluh saat bayangan para wanita yang nampak seperti boneka barbie itu berseliweran di kepalanya. Diapun tak mau mengecewakan dirinya sendiri, membayangkan bagaimana banyaknya wanita cantik dan modis mengelilingi lelaki yang sering hinggap dalam pikirannya itu telah membuatnya sadar diri.
Apa yang lelaki itu bakal lihat dalam dirinya? Batin Juju seraya memandangi dirinya di depan cermin.
Namun, dua bulan terakhir ini ia begitu menikmati kedekatan mereka. Ya, dirinya dan lelaki itu. Meskipun kedekatan itu hanya karena sebuah pekerjaan namun ia menikmatinya. Sangat menikmatinya.
"Biarin dia yang ngefans dulu ke lo. Jangan lo yang ngefans duluan ke dia. Setuju?" Katanya dengan nada penuh semangat sambil jarinya menunjuk ke cermin di depannya. Meskipun itu hanyalah halusinasi dirinya saja karena manalah mungkin seorang Gareth ngefans dengan seorang Juju yang bertubuh kurus, dada rata, jarang pakai bedak, rambut panjang ala kadarnya serta tak pernah dipotong gaya macam apapun, plus dia hanyalah seorang pegawai yang digaji bulanan oleh ibunya lelaki itu.
Sungguh dirinya seperti pungguk yang merindukan bulan. Lagi-lagi Juju mengeluh. "Jangan kepedean, nanti lu gila Ju." Bisiknya sambil menatap cermin di depannya.
Juju melangkah keluar kamar dengan penuh percaya diri seakan dialah gadis yang akan merebut hati sang pangeran hari ini. Namun begitu membuka pintu dirinya terkejut saat melihat emaknya berdiri dibalik pintu sambil bertelak pinggang.
"Astagah Emak! Bikin jantung orang copot aja."
"Cepetan kalo mandi. Jangan kayak semedi di kamar mandi. Kamu tuh kebiasaan kalau mandi suka lama. Ngapain juga dikamar mandi ...."
Bla bla bla.
Tanpa bersuara dan sambil mengorek telinganya Juju berlalu ke kamar mandi melewati emaknya.
"Kamu tuh kalau dibilangin orang tua. Sadar Ju, sudah tua. Sudah dua puluh dua tahun. Temen-temen kamu yang lain sudah kawin dan punya anak. Kamu pacar saja nggak punya Ju."
Yolo dua puluh dua taun tua. Terus gimana die.
"Juju nggak mau kawin Mak. Mau jadi perawan tua saja." Balas Juju lalu menutup pintu kamar mandi.
"Astaga Ju. Istighfar Ju. Kata-kata adalah doa .... "
Bla bla bla.
Yolo emak, pagi-pagi senengnya ngebully orang.
Di kamar mandi, perkataan emaknya terngiang kembali, tentang teman-temannya yang sudah menikah dan memiliki anak. Membayangkan itu, Juju tersenyum.
Kenapa menikah dianggap sebuah kebahagiaan hidup dan jomlo sebagai sebuah penderitaan? Dengan keuangan yang kadang pas dan seringkali kekurangan lalu diam-diam memuja seorang lelaki berwajah tampan dan bertubuh atletis, dirinya sudah merasa puas. Apakah ada yang salah dengan dirinya kalau ia sudah cukup merasa bahagia dengan semua itu?
Konon katanya tumbuh menjadi dewasa itu sangat menyenangkan tapi tidak dalam pandangan Juju, menjadi dewasa itu sungguh sangat menyebalkan.
* * *
![](https://img.wattpad.com/cover/175127369-288-k226682.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
KOPI HITAM JUJU
Storie d'amoreTidak pernah terbersit sedikit pun dalam hati dan pikiran Gareth kalau dia akan memiliki perasaan istimewa kepada gadis minimalis itu. Untuk memastikan perasaannya, dia pun pergi meninggalkan segala atribut yang melekat dalam dirinya: kekayaan, kete...