Siang itu Gareth sebenarnya berniat mampir kerestoran Juju. Walaupun sebelumnya dia mengirim pesan ke Devi kalau dia tidak bisa datang ke restoran. Namun rindu didadanya kepada gadis minimalis itu terlalu berat dipikulnya. Beginilah rasanya baru jadian, harus bertemu setiap saat. Namun membaca pesan Devi yang mengatakan urgent membuatnya penasaran, Gareth langsung menelepon wanita itu.
"Juju lagi ada tamu Mas." Suara disebarang sana terdengar ragu. Gareth mulai merasakan sensasi tak enak dalam nadanya.
"Hmm, Bagas tamunya."
Gareth terdiam sesaat begitu mendengar nama itu disebut. Hanya ada satu nama Bagas yang ia pernah dengar dalam hidupnya.
"Kamu tahu kenapa dia kesana?" Dia tak bisa mendustai dirinya cemburu begitu mendengar nama itu.
"Nggak tahu sama sekali mas. Saya juga kaget." Balas Devi. Rasa bersalah menyelinap saat ia memberitahukan soal kedatangan lelaki itu tetapi ia harus memberitahunya demi menghindari sebuah drama.
Setelah berbincang dengan Devi, Gareth segera menghentikan mobilnya di pinggir bahu jalan tol. Ia tahu betul kisah diantara mereka, Bagas dan Juju. Lelaki bernama Bagas itu sempat membuat harapannya pudar. Ketika Devi memberitahu bahwa Juju mulai berkencan dengan teman SMAnya ia berpikir kalau itu bukan kencan yang serius namun setelah setahun berhubungan terdengar kabar bahwa Juju bertunangan.
Sempat terpikir olehnya untuk melupakan gadis itu namun entah kenapa ia bertahan dengan kata hatinya. Selama di Amerika dia tak mengencani siapapun, mungkin sekedar one night stand tetapi tak ada satupun yang dicintainya. Hatinya tetap kekeh tertanam kepada gadis minimalis itu.
Dua tahun kemudian setelah Bagas dan Juju bertunangan, tiba-tiba ia mendapat kabar kalau Juju membatalkan pernikahan tepat tiga hari sebelum pernikahan dilangsungkan. Tentu saja berita itu mengejutkan dirinya. Tak ada satupun yang tahun alasan Juju membatalkan pernikahannya.
Gareth menarik napas dalam saat mengingat kisah pertunagan itu. Dia melanjutkan menyetir menuju rumah Juju.
* * *
Tiga tahun lalu ketika Juju memutuskan untuk bertunangan ia berpikir dirinya akan bahagia, setidaknya dia bisa mencintai lelaki lain. Paling tidak itu yang ia pikirkan, bersama Bagas ia akan melupakan lelaki kadal yang bernama Gareth. Waktu akan mengobati luka hatinya, lelaki penyabar dan pengertian ini akan membantunya. Tetapi semakin ia mencoba melupakannya, semakin rasa bersalahnya muncul setiap sedang bersama Bagas.
Semakin mendekati hari pernikahan, hati Juju semakin galau tak menentu. Pikirannya dipenuhi ribuan pertanyaan. Bagaimana kalau ia tak bisa melupakan lelaki kadal itu? Apakah ini adil untuk Bagas sudah diperalat olehnya untuk melupakan lelaki kadal itu?
Akhirnya Juju harus mendengarkan kata hatinya. Ia tidak bisa membohongi lelaki yang mencintainya dengan tulus. Diapun memutuskan untuk bertemu Bagas tepat tiga hari sebelum hari pernikahan.
Pertemuan dengan Bagas hari itu seperti sebuah pertemuan yang memutuskan hari kematian dirinya. Dia sudah siap dengan kemarahan yang akan dilontarkan oleh lelaki itu. Ini lebih baik ketimbang harus membohonginya seumur hidup, pikir Juju.
Namun kemarahan yang Juju bayangkan dari lelaki itu tidak terjadi, yang ia dengar hanyalah tarikan dan hembusan lembut nafasnya.
"Ada lelaki lain yang kamu cintai?" Hanya itu pertanyaan yang keluar dari mulutnya.
Juju memandang lelaki yang duduk disampingnya. Pertanyaan yang tak disangka itu seperti menikam jantungnya, dadanya terasa sesak melihat kebaikan diwajah lelaki itu.
"Aku nggak pantas untuk kamu Gas."
Lelaki itu merangkul bahunya. Saat itu juga ia tahu gadis itu mencintai lelaki lain.
"Nggak apa-apa kalau kamu mencintai orang lain Ju. Paling nggak aku tahu alasan kenapa kamu membatalkan pernikahan. Makasih udah nyoba untuk mencintai aku. Mungkin tempatku dihati kamu bukan untuk menjadi suami." Ucapan Bagas semakin membuatnya seperti terdakwa yang pantas divonis mati.
Sejak pembatalan pernikahan mereka, Juju hanya mengurung diri dikamar selama vampir sebulan. Tubuh dan pikirannya sulit untuk berfungsi seperti biasanya. Bagas akhirnya mengunjunginya karena pesan dan panggilan yang tak dijawab. Emak menangis tersedu dengan kunjungan lelaki itu.
"Dia jarang makan dan nggak mau keluar makan. Emak takut dia nanti sakit." Kata Emak diantara isak tangisnya. Bagas memeluk emak yang sudah dianggap seperti ibu kandungnya sendiri itu. Hari itu juga lelaki itu tahu bahwa Juju sedang menghukum dirinya. Diapun memutuskan untuk membantu gadis itu keluar dari rasa bersalahnya.
"Ju, ini aku. Bagas." Katanya setelah mengetuk pintu kamar Juju. Didalam kamar Juju terkejut mendengar suara lelaki itu.
"Aku bawa makanan. Buka pintunya ya Ju."
Tak ada jawaban dari dalam kamar. Bagas berdiri dibalik pintu kamar dengan sebuah nampan berisi makanan. Lelaki itu memandang ke emak. "Emak istirahat aja dulu. Biar saya yang urusin Juju ya." Emak hanya mengangguk sambil mengusap airmatanya kemudian berlalu meninggalkan lelaki itu.
"Ju, buka pintunya please. Aku sudah lapar nih."
Juju beranjak dari kasur menuju kecermin, wajahnya begitu sempat dan nampak seperti mayat hidup. Dia melangkah menuju pintu lalu membukanya.
"Kamu kenapa kesini?" Tanya Juju dari balik pintu kamarnya.
"Kamu nggak balas pesan dan nggak angkat telpon. Aku khawatir." Balas Bagas dari balik pintu.
Juju menghapus airmatanya yang mengalir. "Seharusnya kamu nggak usah kesini." Bagas mendengar isakan gadis itu.
"Ju, aku lapar. Dari tadi siang aku belum makan. Please, makan sama aku ya?"
Juju mengusap airmatanya lagi lalu membuka lebar pintu kamar. Bagas menyambutnya dengan senyum lalu meraih tangan gadis itu dan menggandengnya ke meja makan.
"Ju, aku bahagia kalau kamu bahagia. So, please be happy. Jangan siksa diri kamu untuk sesuatu hal yang nggak bisa kamu kontrol." Sambil berkata begitu lelaki itu menggenggam kedua tangan Juju.
"Aku merasa beruntung sekali bisa ketemu kamu dan kita sempat tunangan. Semua ini pasti sudah takdir, sudah jalannya begini. Kita nggak pernah tahu apa yang terjadi nanti. Tapi aku tetap merasa bersyukur karena kita bisa bersama. Walaupun kita nggak jadi menikah, aku mau kita tetap berteman seperti semula. Saling mendukung hidup satu sama lain. Bisa kan Ju? Jangan ada tangis menyesali lagi. Nggak baik menyesali apa yang sudah terjadi. Disyukuri saja dan nikmati semua ini Ju."
Juju menengadahkan kepalanya dan menatap lelaki yang duduk dihadapannya. Betapa bijak dan lembutnya dia. Seharusnya lelaki itu yang ia cintai sepenuh hati bukan kadal burik yang nggak jelas rimbanya dimana.
"Kamu nggak benci sama aku?"
"Kenapa aku harus benci sama kamu hanya karena pernikahan kita batal? Apakah ini akhir hidup kita berdua karena kita nggak jadi suami istri? Kalau kamu menolak aku menjadi suami kamu, lantas kamu akan menolak aku juga sebagai teman? Hidup ini terlalu indah untuk dipersulit. Let it go, Ju. Biarkan mengalir seperti air sungai." Kali ini Bagas yang menghapus airmata yang mengalir dipipi gadis itu.
Sore itu Bagas duduk diruang tamu bersama emak, sementara Juju kembali kekamar dan tertidur pulas. Keesokan paginya Juju merasakan tubuhnya lebih ringan dan tak ada beban lagi dipikirannya. Juju mencoba mengingat kembali mimpinya tadi malam. Sebuah mimpi aneh.
* * *
![](https://img.wattpad.com/cover/175127369-288-k226682.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
KOPI HITAM JUJU
RomanceTidak pernah terbersit sedikit pun dalam hati dan pikiran Gareth kalau dia akan memiliki perasaan istimewa kepada gadis minimalis itu. Untuk memastikan perasaannya, dia pun pergi meninggalkan segala atribut yang melekat dalam dirinya: kekayaan, kete...