support system'

161 18 0
                                    

"Flo hanya butuh dukungan," tuturnya pada lelaki muda dihadapannya tersebut.

Sebenarnya, Mbak Nilam memang sudah mendengarkan semua obrolan dari kedua kakak beradik itu tadi saat mereka berbicara di depan pintu ruangannya. Tak disangka, percakapan keduanya rupanya sedikit dibumbui dengan emosi hingga membuat wanita itu tergerak ingin andil ikut campur dalam menengahinya. Dia merasa mungkin memang seharusnya ada yang perlu diluruskan di dalam masalah ini, dan pada akhirnya diapun meminta Felix agar masuk ke dalam ruangannya, sementara Flo dipersilahkan untuk turun lebih dulu menuju teman-temannya yang berada di lantai bawah.

Kini keduanya nampak duduk berhadapan dengan Felix yang kelihatan gelisah dari rautnya. Wanita itu menatap serius wajah laki-laki seusia adik sepupunya tersebut yang malah membuang muka kesamping dengan napas memburu seperti menahan emosi. Sebagai seorang psikolog, tentu saja dia memahami betul setiap ekspresi yang terpancar dari raut muka anak itu. Ada kekhawatiran, kegetiran, ketakutan, rasa bersalah, serta kemarahan yang terpatri jelas di sana. Mbak Nilam masih menunggu sampai Felix benar-benar bersedia memusatkan seluruh pandangan serta pikirannya sebelum membahas permasalahan intinya.

Felix menghembuskan napas berat sebelum memberanikan diri menatap balik manik mata yang terarah padanya itu. "Aku udah berusaha, mbak," ucapnya dengan suara sedikit lirih menahan rasa bersalah yang kentara.

"Usaha seperti apa yang kamu maksud, Lix?" Tanyanya tanpa menghakimi ataupun menyudutkan. Katakan ini sebagai bentuk diskusi, dengan perantara Mbak Nilam yang bersikap seolah ia hanya ingin mendengarkan penuturan laki-laki tersebut.

Sebenarnya perlu diketahui juga, ini memang bukan pertemuan pertama kali mereka berdua. Felix beberapa kali sudah pernah berkunjung bersama dengan Faris dan Wisnu kesana, maka dari itu mbak Nilam sedikit banyaknya juga mengetahui tentang keadaan keluarga cowok tersebut. Hanya saja memang tidak terlalu mendetail seperti saat ini.

Laki-laki itu secara berulangkali menghela napasnya guna menenangkan diri. "Aku mau mempercayai semuanya, tapi tetap nggak bisa, mbak. Susah." Dia mendesah frustasi. "Semuanya tuh kayak mustahil, nggak masuk akal sama sekali. Ratusan situs yang menjelaskan teori sleeping beauty sudah aku baca, namun tetap saja aku tidak bisa mengerti, mbak. Aku cuma nggak mau Flo dibilang berhalusinasi dan di cap gila, makanya sebisa mungkin aku ngebantah cerita dia yang memang tak berbukti. Meskipun aku tahu anak itu tidak pernah berbohong. Aku cuma takut, mbak. Mentalnya sangat rapuh, tapi satu sisi Flo bukan anak aneh," ia mengungkapkan alasan dibalik sikap skeptisisme yang ditampilkan nyatanya menyimpan kegundahan dan kekhawatiran yang tak terungkapkan.

Iya, Felix memang seringkali menjadi salah satu dari orang yang menolak membenarkan cerita si bungsu. Akan tetapi, semua itu bukan tanpa alasan. Dia hanya tidak ingin Flo terlampau masuk kedalam hal-hal tidak masuk akal tersebut dan hidup diantara bayang-bayang semu. Sudah cukup julukan sleeping beauty tersematkan, jangan sampai halusinasi, delusi, atau semacamnya ikut andil menggelayuti mental gadis malang itu. Felix cuma menginginkan yang terbaik untuk adik kesayangannya dan sebisa mungkin ia akan memberikannya. Felix hanya mau melindungi sang adik dari jahatnya mulut orang-orang disekitarnya.

"Flo tidak perlu pengakuan siapapun untuk membenarkan apa yang dia alami," tutur mbak Nilam membuat Felix menatapnya. "Anak itu tahu apa yang benar-benar terjadi dan tentunya sangat berbeda dengan halusinasi. Jika kamu pikir tujuannya meyakinkan kalian hanya demi memperoleh sebuah kepercayaan, maka jelas itu persepsi yang salah."

Cowok itu mengerutkan keningnya sebab tak mengerti akan penuturan mbak Nilam barusan.

"Flo tidak pernah lagi mempercayakan hidupnya kepada orang lain. Apa yang dia perbuat, tujuannya, serta akibat yang akan dia tanggung, semuanya hanya berlandaskan insting dan cara berpikirnya sendiri. Dia telah merasa nyaman hidup menyendiri hingga kepribadian individualismenya pun semakin tinggi. Flo tidak benar-benar memahami apa itu hubungan sosial, yang dia tahu adalah hidupnya tidak bisa dilalui tanpa keberadaan orang lain yang mungkin bermanfaat baginya. Dengan artian, bahwa Flo sudah hampir mati rasa karena kehilangan kepercayaan dirinya sendiri dan juga orang-orang disekitarnya,"

Sleeping beauty {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang