terrible

165 20 0
                                    


"Apa-apaan kalian ini?" Hardik Gita ikut ambil suara, dengan tatapan tajam memarahi kedua putranya tersebut. "Apa dengan berantem bisa menyelesaikan masalah? Faris," panggilnya pada si sulung yang kini tengah menunduk segan. "Begini cara seorang kakak mendidik adik-adiknya? Dan kamu Felix. Apa mama pernah mengajarkan kamu berbicara seperti itu kepada kakak kamu?" Lanjutnya melirik mereka secara bergantian.

Hening, sungguh tidak ada yang berani mengeluarkan suara barang sepatah katapun jika Gita telah berbicara. Mereka tak bisa berkutik, seketika langsung terdiam seribu bahasa. Sikap lancang keduanya hanya berani mereka koarkan di antara satu sama lain, diluar dari pada itu mereka tetaplah seorang anak yang patuh. Belum pernah sekalipun mereka membantah ucapan kedua orang tuanya.

Lagipula setelah sekian lama, baru kali ini mereka melihat emosi bernada marah itu nampak dari muka yang biasanya begitu mengayomi dengan sifat lemah lembutnya. Selama ini Gita tidak pernah menunjukkan amarahnya dihadapan ketiga anak-anaknya, yang ada hanya berupa nasihat kecil. Itupun disampaikannya secara halus tanpa caci maki. Makanya mengapa Faris dan Felix langsung membatu kala sang mama membentak untuk pertamakali nya.

Menyadari ekspresi tak biasa kedua putranya, Gita lantas terdiam sebentar. Dia menarik napas panjang guna menetralkan emosinya yang semula meledak akibat menyaksikan perdebatan si kembar. Kini, mimik wajahnya melunak begitupun nada suaranya yang kembali seperti semula lagi. "Semua masalah tidak ada yang tidak bisa dibicarakan baik-baik. Coba duduk dulu dan bertanya pelan-pelan, nggak harus pakai emosi kan, Lix?" Ujarnya menatap putra keduanya yang paling emosional di sana.

Felix semakin menundukkan kepalanya, sama sekali tidak menyahut. Entahlah, rasanya sangat aneh mendengar sang mama bertutur demikian.

"Flo, biar kakak antar balik ke kamar," si sulung menyeletuk sebab tak tega melihat kondisi adik bungsunya yang masih sangat lesu itu. Seketika atensi pun mengarah kepada gadis tersebut bahkan Gita pun lantas sejenak melupakan amarahnya tadi. Kini mereka beralih mengkhawatirkan Flo yang sedari tadi berdiri sembari menopang berat badannya pada sebuah sofa.

"Nggak perlu," tolaknya ketika Faris akan bergerak mendekatinya. Kali ini gantian dia yang melayangkan sorot tajam sarat akan rasa muak kepada kedua kakaknya.

"Kamu masih harus banyak beristirahat. Ayo, kakak bantu," laki-laki itu kembali mencoba membujuk sang adik.

Flo memundurkan tubuhnya, mencoba menghindari  tangan kakaknya tersebut. "Lanjutkan aja debatnya. Aku mau lihat seberapa besar pedulinya kalian terhadap aku," ujarnya menantang dengan raut kesal serta marah yang terpancar menjadi satu. Dia paling benci pertengkaran.

"Flo, kita bicarakan ini nanti ya. Sekarang lebih baik kamu masuk ke kamar dulu_"

"Biar apa, pa?" Selanya cepat membuat Sam menarik kembali kata-katanya. Semuanya berhasil dibuat bungkam oleh amarah si bungsu. "Biar kalian bisa bertengkar lagi?" Gadis itu menepis semua uluran tangan yang mengarah kepadanya.

Flo menghembuskan napasnya yang terasa sesak di dada, bahkan sesaknya melebihi asap yang tadi dia hirup. Hatinya berdenyut ngilu mendapati keluarganya tengah bersitegang hanya karena persoalan dirinya. Gadis itu tidak bisa menggambarkan betapa sedihnya dia saat ini. Namun air matanya seolah membantu untuk menjelaskan bahwa dia sangat tersiksa akibat merasa bersalah. Keluarga bahagianya harus lenyap hanya karena kehadiran dirinya yang begitu merepotkan.

Menggigit bibir bawahnya menahan isakan, Flo menatap penuh kecewa. Dia menggeleng tak kuat menyaksikan kelanjutan perdebatan tersebut. "Ini yang nggak pernah aku inginkan." Lirihnya dengan suara bergetarnya berhasil membuat mereka semua tertegun. "Aku nggak suka lihat kakak-kakak aku yang aku sayangi berantem cuma gara-gara aku. Sakit banget, rasanya aku pengen cepat-cepat menghilang aja agar masalahnya segera selesai," ungkapnya disela-sela air mata.

Sleeping beauty {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang