Bagian 32

241 35 4
                                    

Obrolan panjang yang cukup menguras emosi itu baru reda setelah adzan magrib tiba. Kalita memang langsung pulang setelah menunaikan salat magrib, tapi tidak dengan Ladisha yang masih stay di sana dengan tempat duduk yang tetap sama di bagian yang cukup menjaga privasi obrolan.

"Mbak nggak akan negur Rendra, Sha. Mbak akan langsung bilang sama Ibu. Kalau Mbak boleh kasih saran, bicarain semuanya sama Rendra. Cari jalan terangnya, demi kebaikan Laven, putra kalian. Bukan demi kebaikan kalian masing-masing."

"Mbak rasa semuanya belum terlambat. Kalau kamu mau bicara, Mbak udah suruh Rendra ke sini. Rendra bakal langsung mampir dari kantornya."

Sejujurnya, jika perihal bicara, Ladisha merasa sudah sering melakukannya. Ia yakin dari pihak sebelah pun sama. Namun, yang terjadi ya sama saja. Jalan tengahnya entah di mana letaknya. Sebisa mungkin keegoisan itu sudah ia kurangi. Tapi, kalau hanya dari salah satu pihak, apa gunanya? Bagi Ladisha, sosok Rendra masihlah sama egoisnya, menjunjung harga diri adalah yang paling utama, dan mengakui kesalahannya nampak tak berlaku dalam hidupnl pria itu.

Namun, kembali mengingat bagaimana wajah kecewa dan air mata putranya, Ladisha jadi urung jika hanya diam saja. Putranya itu, Ladisha masih ingin menggapainya. Belum lagi kenyataan pahit yang barusan ia ketahui terkait ibu sambung yang kemungkinan benar-benar akan terjadi, membuat keinginan sekaligus keegoisannya tergugah.

Mau sebaik apapun orangnya, Ladisha masih tak rela jika peran yang bahkan belum ia penuhi itu akan digantikan orang lain. Jangankan orang lain, mengetahui bagaimana putranya memanggil Kalita dengan panggilan 'bunda' saja terasa sulit merelakannya. Tapi ia bisa apa? Bahkan dari balita pun bukan ia yang mengurus sang putra.

"Kenapa nggak bilang kalau mau nikah?"

Pertanyaan itu langsung Ladisha ucapkan tatkala pria yang berstatus sebagai mantan suaminya itu tiba. Lagipula, Ladisha tak setega itu membiarkan yang baru saja nampak tak memesan lebih dulu. Sengaja wanita itu langsung memesan guna tak ingin membuang banyak waktu.

"Masih rencana. Saya masih nunggu jawaban kamu." Terdengar jika Rendra masih berujar dengan nada datarnya. Meneguk secangkir kopi di hadapannya, laki-laki itu nampak tak terbebani dengan emosi yang sudah terlihat dari lawan bicaranya.

"Aku ada hubungan sama yang lain. Mas tau itu."

"Lalu, masalahnya apa? Kamu justru bisa memutuskan sendiri apa yang jadi tujuan hidupmu, sama halnya dengan saya. Soal nikah, toh di hari H nanti saya juga pasti ngundang kamu."

Kini, wajah tegas itu menghadap lurus. Manik matanya terpaku pada si lawan bicara yang mengalihkan pandangannya.
Terhitung, hanya beberapa detik terlewati, wajah yang berpaling itu kini menghadap lurus, memberanikan diri melawan wajah lain yang menghadapnya.

"Ayo buat kesepakatan. "

"Aku nggak akan nikah asal Mas juga lakuin hal yang sama."

"Jangan egois, Sha." Masih datar si pria berujar. Emosinya juga bagai air yang masih rata di permukaan, belum bergerak terombang-ambing tak karuan dalam wadahnya. Berbeda dengan lawan bicaranya yang sudah dipenuhi gumpalan kabut emosi yang beraneka ragam.

"Kamu bisa ngomong begitu karena belum pernah ngerasain gimana sakitnya dibenci putramu sendiri."

"Di mata putraku, sedari awal aku salah. Sekarang makin kelihatan salah. Yang menurutku bener ternyata salah, yang menurutku salah juga jauh lebih salah. Apapun yang aku lakuin salah. Laven nggak mau ngomong sama aku, Mas perlu tau itu.

"Aku berubah pikiran. Selama ini aku diam supaya Laven bisa bahagia sama Mas, ngejaga perasaannya dengan nggak cerita gimana perbuatan ayahnya dulu. Setelah aku pikir-pikir lagi, putraku perlu tau semuanya."

LavenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang