Bagian 41

272 32 6
                                    

Disha pergi bukan karena marah. Ia mencoba paham bahwa putranya memang sedang ingin sendiri. Dan dari yang ia sadari, hal seperti itu memang sudah menjadi tabiat sang putra. Tapi di sisi lain ia juga kecewa pada dirinya sendiri. Pikirannya mengatakan bahwa kehadirannya memang belum memberi efek besar pada Laven putranya.

Nyatanya Disha tak benar-benar pergi. Ia hanya berniat keluar sejenak, mengabulkan permintaan sang putra dengan memberi ruang dan waktu untuk menenangkan diri. Disha hanya berniat melangkah ke taman lantas mampir menuju kantin untuk mencari makanan sebab sedari pagi dirinya juga belum makan. Setelahnya, ia memang kembali ke ruang rawat, berharap suasana hatinya yang membaik dapat menjadi tameng untuk menghadapi mood Laven yang tengah buruk karena banyak hal.

Tapi, rupanya dugaannya tak sesuai dengan rancangan Tuhan. Mendapati sang putra tidak ada dalam pembaringannya, Disha masih berusaha berpikir positif bahwa putranya itu mungkin tengah ke toilet atau memang nekat untuk keluar sebentar. Tapi, setelah manik matanya menangkap keadaan selang infus yang masih tergantung pada tiang kecurigaannya seakan berdasar. Apakah tak wajar jika hatinya gelisah? Belum lagi dengan cardigan sang putra yang entah kemana.

Kepanikan itu seakan menguras logikanya, membuatnya berlari-larian kebingungan di lorong-lorong rumah sakit. Tatapan beberapa pasang mata yang memandangnya tak wajar ia abaikan. Barulah teguran langsung yang ia dapatkan sedikit banyak menyadarkannya.

"Saya antar ke bagian informasi ya, Bu? Siapa tau terlihat dari CCTV." Saran seorang perawat yang tengah berada pada lorong yang sama.

Ya, setiap gerik putranya memang tertangkap kamera pengintai. Bagaimana putranya mulai menginjak lantai dan agak terhuyung itu berpegangan pada bed. Sampai dengan bagaimana putranya melepas plester dan mencabut infus di punggung tangannya. Lantas berlalu meraih cardigan di sofa. Tapi beberapa kamera yang terpasang hanya mampu menangkap apa yang dilakukan sang putra sampai dengan di halaman masuk rumah sakit.

"Ibu yang tenang. Saya akan melaporkan ke pihak keamanan. Tolong ibu juga coba untuk menghubungi yang di rumah."

Berusaha tenang, jemari lentiknya mendial nomor seseorang. Sekarang bukan persoalan apakah ia masih marah atau tidak. Tapi ia benar-benar butuh seseorang yang tengah ia hubungi.

Tak butuh lama bagi Disha untuk menunggu kedatangan Rendra. Dan, begitu keberadaan seseorang itu ia sadari, secara refleks tubuhnya menubruk seseorang yang tingginya jauh melebihi dirinya. Untuk kedua kali tangisnya lepas di depan sang mantan suami. Tangis pertamanya adalah ketika ia rela tak rela harus meninggalkan sosok mungil darah dagingnya. Padahal secengeng apapun dirinya, Disha selalu mampu untuk tidak menangis di depan orang lain, terlebih seseorang yang sudah melukainya. Tekadnya untuk selaku terlihat kuat adalah motivasi utamanya. Tapi kini, semua hanya tinggal kata belaka. Semua yang berhubungan dengan Laven tak akan membuat Disha bisa biasa saja.

"A-aku nggak berniat sama sekali ninggalin Laven. Lapor polisi, Mas."

Meski ragu dan terasa kaku, Rendra berusaha menenangkan.

Rendra tahu jika ada hal buruk yang akan terjadi sejak menyadari isak tangis wanita yang dulu adalah istrinya itu terdengar terputus-putus. Dalam dekapannya tubuh seseorang yang sampai saat ini ia cintai itu melemas, luruh jatuh jika tak ia tahan. Maka dengan sigap tubuh itu ia bawa untuk segera ditolong.

***

"Kamu bisa tidur di sini. Lebih baik jangan keluar. Kalau Lian tau, saya nggak jamin aman."

Mengangguk pelan, Laven masih tertunduk berdiri. Bukan ia tak bisa berprasangka baik terhadap tantenya sendiri. Menilik ulang, Tantenya itu selalu punya maksud dibalik sikapnya. Contoh yang paling dekat adalah bagaimana Tante Dian yang memberi pesyaratakan agar ia mendukung hubungan mama dengan Om Pras sebagai ganti dari cerita yang dirinya ingin ketahui.

LavenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang