Siap-siap gumoh ya bacanya. Saranku mending dibaca setengahnya dulu.
Happy reading, wkwk!
***
Tak lama setelah waktu subuh, Nalendra tiba di rumah sebab wali kelasnya menelepon, menyuruhnya untuk datang sebentar ke sekolah pagi-pagi. Lantas, sebelum jarum jam menunjuk angka jam enam secara mengejutkan Nanta datang untuk menjemput sang adik.
Hal itulah yang membuat personil yang menduduki kursi makan di rumah Ladisha bertambah. Alih-alih ramai, justru suasana hening yang begitu kentara.
Ladisha telanjur kaku membangun obrolan sebab sapaannya saja ia rasa mendapat respons begitu seadanya. Sedikit banyak ia tahu jika anak dari Lita itu tak menyukainya dulu, dan sepertinya sampai sekarang tetap sama. Sementara Nalendra juga memilih jalur aman untuk banyak diam meskipun batinnya ingin melakukan hal yang sebaliknya. Ia hanya tak mau jika nanti perasaan mama menjadi terganggu jika mendapati respons yang tak ramah.
Laven? Sosoknya nampak diam, tapi dengan kondisi yang justru paling tenang dan menikmati makanannya dengan benar. Tak kaget sebab memang kakaknya itu sudah mengabari akan mengantarkannya sekolah. Terlebih, ia juga percaya jika kakaknya itu tak akan melakukan hal yang memicu konflik sebab janji dan kesepakatannya semalam.
"Tante disuruh Oma ke rumah kalau ada waktu." Itu suara Nanta yang mendapat anggukan bonus senyum tipis dari satu-satunya wanita di sana.
"Bilang ke Oma, nanti siang Tante ke sana. Thanks ya, Kak."
Tak ada jawaban dari Nanta, meski hanya sekadar anggukan semata. Tapi sepertinya tak ada yang begitu mempermasalahkannya, kecuali yang paling muda mungkin.
"Pakde tadi kayaknya udah manasin mesin, Ma." Nalendra berdiri sembari membawa piring bekas makannya. Kalimat barusan sudah jelas ditujukan untuk siapa sebab dalam keadaan sekarang cowok itu hanya sedang mencari aman.
"Berangkat bareng aja."
Laven tahu jika kakaknya itu sudah jelas akan menolak. Ia juga tahu jika kakaknya yang satu lagi akan sangat keberatan, tapi tak akan bisa juga disampaikan secara lisan. Maka dari itu, secara sepihak ia langsung memotong ucapan Nalendra yang akan menolak, "Biar Pakde nggak perlu nunggu. Cuma bentar kan?"
Dibandingkan menilik sosok Nanta yang nampak masa bodoh dengan ajakan itu, Lendra lebih memilih melemparkan kode non verbal pada mama, seakan meminta persetujuan. Barulah setelahnya Lendra ikut mengangguki ajakan yang lebih muda usai mendapati mama menagangguk pelan.
"Depan, Kak." Laven berucap kala tangan sang kakak sudah menyentuh pintu mobil, hendak akan membukanya. Lendra mengangguk, enggan menjawab lebih hanya untuk perkara tempat duduk. Meskipun aslinya ia tahu jika itu tak akan baik baginya sebab Nanta sudah melayangkan tatapan tak enak untuknya.
Tak ada yang berbicara kala mobil yang dikemudi Nanta sudah melaju. Laven yang duduk di jok tengah nampak fokus dengan ponsel miliknya. Nanta jelas-jelas memilih diam daripada harus berbasa-basi pada Nalendra.
Kak, masih mau dapet maaf 'kan?
Pesan dari adiknya semalam tanpa perlu berbasa-basi langsung ia iyakan.
Usahain ubah sikap kakak ke mama sama Kak Lendra, ya? Ka Nanta udah banyak tau ceritanya 'kan? Jangan karena satu alasan ngebuat kakak nyimpen rasa nggak suka yang berlebihan. Aku juga bakal coba buat lupain satu kesalahan yang kakak buat. Okay?
Sesungguhnya Nanta berubah pikiran setelahnya. Ia tidak hanya punya satu alasan, tapi mengetahui adiknya saja sedang mencoba berdamai membuat dirinya mau tak mau menuruti meski dengan berat hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lavenario
General FictionTak ada yang istimewa dari kisahnya. Sebut saja ia terlalu pasrah menerima. Kalau ada kata 'berjuang,' maka perjuangannya hanyalah tentang bagaimana caranya bertahan. Emosinya selalu ia pendam. Kalau pun tidak, maka orang lain hanya boleh melihat em...