Bagian 26

289 30 5
                                    

"Benar tidak boleh pakai sandal?"

Laven yang tengah meraih sepatu dari rak di ruang depan seketika mengurungkan niatnya. Baginya, ucapan ayah barusan bukan hanya sebuah bentuk pertanyaan, melainkan perintah yang disematkan. Katakanlah ia memang sedikit keras kepala, tapi tetap saja menahan sedikit sakit itu lebih baik bagi Laven daripada harus menarik perhatian sekitar sebab perban yang membalut telapak kakinya.

Ayah lebih dulu keluar sebab suara bel yang terdengar. Perlahan, Laven menyusul setelah memakai jaket dan meraih tas miliknya yang ia letakkan di sofa. Luka di telapak kakinya itu justru lebih terasa sakitnya setelah beberapa hari kemudian, membuatnya memang harus bersabar menjaga langkahnya agar tetap menapak natural. Meskipun hasilnya cukup tidak mungkin.

"Eh, kaki-,"

"Kena beling." Laven menyahut sebelum Panca menyelesaikan kalimatnya. Sejenak ayah menatapnya seolah memperingatinya bahwa itu tidak sopan. Tak ingin Panca bertanya lebih, Laven berusaha meringkas waktu dengan menyalami ayah. Secara otomatis Panca pun juga mengikutinya.

"Gimana ceritanya?"

Sejujurnya suara Panca itu masih bisa Laven dengar meski kurang jelas sebab jalanan sudah cukup ramai. Namun, Laven enggan menjawab jika harus mengotot untuk sekadar bersuara lebih lantang guna melawan riuhnya jalanan maupun angin yang menabrak. Panca juga tak lagi bertanya setelahnya. Laven tak ambil puaing dengan segala prasangka Panca saat ini.

"Kena di jalan pas lumayan gelap."

"Telat tapi okelah daripada nggak kejawab." Ujar Panca membuka helm miliknya, sedangkan Laven masih berusaha untuk turun.

"Lo duluan aja, gue lama."

Panca yang giliran tak menyahut. Cowok itu justru diam menunggu sosoknya berjalan lebih dulu sampai mencapai beberapa langkah.

"Berangkat bareng, kelas sama, ngapain harus jalan sendiri-sendiri."

Terkait perubahan Panca yang akhir-akhir ini lebih banyak bicara, lebih luwes, dan memperlakukannya sama seperti yang lain sudah Laven ketahui alasannya. Ya, kakaknya yang tak lain ialah Nanta sendiri alasannya. Entah apa saja yang sudah kakaknya itu katakan untuk memengaruhi Panca. Tapi yang jelas, berkat ucapan dari Panca sendiri Laven mengetahuinya.

"Keberadaan lo narik perhatian yang lain."

"Dengan mereka ngelihatin, lo nggak akan kehilangan apa-apa, Laven."

"Gue kehilangan kenyamanan, Panca."

Suara pelan namun penuh penekanan itu kentara sekali bahwa Laven sudah dalam batasan kesabaran. Memilih mengalah, maka pada akhirnya yang lebih tua mempercepat langkahnya, memberi jarak dengan langkah pelan sosoknya. Laven pun bisa bernafas lega melanjutkan langkahnya dengan perlahan, tapi pasti. Sesungguhnya jalan cepat pun ia bisa, hanya saja demi menjaga agar tetap natural dan tetap terlihat normal tak apa bukan? Sebab jika terseok-seok, jelas sekali ia akan menarik perhatian yang lain. Belum lagi kakinya yang memakai sandal dan berbalut perban.

"Tas. Lo bilang mau ke perpus." Panca yang sengaja melangkah pelan sudah mentodorkan tangannya. Laven yang paham juga langsung memberikan tas miliknya. Cowok itu lantas berbelok dari koridor yang lurus setelah Panca mulai melanjutkan langkahnya.

Perpustakaan jika belum memasuki jam pembelajaran atau istirahat juga masih akan sepi. Namun, Laven pikir justru ibu-ibu pengurus perpustakaanlah yang paling rajin berangkat pagi setelah karyawan kebersihan. Kalau ada nominasi guru atau karyawan terbaik tahunan, Laven tak ragu akan memberikan poinnya untuk salah satu ibu pengurus perpus. Alasannya sebab sosoknya kerap kali melihat bagaimana dedikasi dan tanggung jawabnya dalam pekerjaan.

LavenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang