Bagian 27

298 33 2
                                    

Sejak sore saat ayah mengenalkan Tante Lena, Laven merasa bahwa ia harus banyak belajar untuk lebih mencintai dirinya sendiri. Meskipun nantinya hal itu harus menjadikannya sedikit egois dan berbeda dari ia yang biasanya. Perubahan itu Laven mulai sejak semalam. Misalnya saja, sosoknya lebih memilih berjalan ke masjid seorang diri, berangkat sebelum adzan berkumandang agar kakinya cenderung tak ia paksakan bergerak mengimbangi langkah ayah. Makanan yang ayah siapakan sore itu juga ia makan demi menjaga kesehatan lambungnya, sekaligus mengindari ayah yang mungkin akan mengetuk pintu kamarnya karena melihat makanan yang masih belum dibuka.

Tadi pagi, sosoknya juga bangun lebih pagi meski biasanya juga sudah dapat dikatakan sangat pagi. Masuk ke dapur dan memasak guna menghindari ayah bangun lebih dulu. Namun, alih-alih sarapan bersama di meja, sosoknya lebih memilih membungkusnya. Alasan bahwa ia harus berangkat lebih pagi itu sudah cukup untuk mencegah ayah bertanya lebih. Bonusnya ia juga jadi punya jalan untuk menolak tawaran ayah yang akan mengantarkannya. Selain lebih mencintai dirinya sendiri, Laven melakukannya agar ia terbiasa. Baginya, apa yang terjadu ke depannya adalah teka-teki yang hanya bisa ia duga kemungkinannya. Bisa saja ayah berubah dan kembali menjauh darinya. Atau justru semakin peduli? Hanya saja, benar bukan bahwa menyiapkan hal untuk kemungkinan terburuk itu memang dibutuhkan?

"Laven?"

Mendengar suara khas yang memanggilnya, Laven mendongak. Ada Lendra yang saat ini berdiri di ambang pintu kelasnya. Ini memang masih sangat pagi, itu sebabnya baru ada tiga siswa yang terhitung di kelas yang entah sekarang kemana perginya. Mungkin diam dan tatapannya diartikan Lendra bahwa ia memberi izin masuk. Tapi, itu memang benar. Dan lagi, untuk apa Lendra memerlukan izinnya sedangkan sekolah saja merupakan tempat umum.

Kini, sebuah totebag bermerk alat makan mendarat pada mejanya. Pelakunya jelas Nalendra. "Dari mama. Jadi, dimakan ya."

Laven mengangguk. Hal itu membuat Nalendra berlalu pergi begitu saja. Jadi begini ya rasanya saat kakaknya itu berubah? Semudah ini juga kakaknya itu berubah? Laven pikir penyebabnya karena ucapannya yang mungkin memang keterlaluan. Atau mungkin Nalendra itu memang menyayanginya, tapi dengan logika. Tak seperti dirinya yang kadang hilang akal dan hanya melibatkan perasaan saat menyayangi yang lain.

Laven menyimpan pemberian itu ke dalam laci mejanya. Lantas lebih memilih mengeluarkan bekal yang ia bungkus sendiri. Selain porsinya yang sudah ia sesuaikan untuk sarapan, bekal yang ia bawa juga sengaja ia bungkus dengan kertas minyak agar tidak repot harus kembali membawanya pulang. Singkatnya agar lebih praktis, meskipun sampah yang dihasilkan menjadi konsekuensinya. Tapi, di sisi lain juga jadi hemat air dan sabun. Ya pada akhirnya mau mencari pembelaan apapun memakai kotak khusus makanan memang lebih baik. Soal bekal dari mama, mungkin bisa ia makan istirahat nanti.

Suara derap langkah yang masuk membuat sosoknya kembali mengalihkan pandangannya. Ada Panca yang bukannya
meletakkan tasnya di bangku biasanya justru langsung mendudukkan diri pada kursi di depan meja sosoknya. Kalau menurut yang Dhito katakan, Panca itu random. Berangkat sekolahpun tak dapat ditebak hadirnya jam berapa. Tapi menurut Laven, dari yang sudah-sudah, Panca berangkat pagi karena belum sarapan.

"Lo udah sarapan?"

"Gue baru mau ke kantin. Lo bungkus sendiri? Kelihatan enak, Ven."

Laven mengeluarkan bekal pemberian mama dari lacinya. Cowok itu membukanya lebih dulu, baru mendorongnya pelan ke arah Panca yang memang sudah memutar kursinya menghadapnya. "Makan ini aja."

"Lo sengaja bawain buat gue? Thanks, loh."

Panca mulai berdoa, menyuapkan nasi dan lauk ke dalam mulutnya. Tampak bahwa cowok itu sangat menikmati makanan pemberian sosoknya. "Tapi pagi ini gue ngerasa gerah banget."

LavenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang