"Pulang jam berapa?" Pertanyaan Rendra nampak menahan gerak sang putra yang akan membuka pintu mobil. Laven mengarahkan pandangannya, menjadi menatap wajah ayah yang juga menatapnya guna menunggu jawaban darinya.
"Pulang nanti aku ada perlu lain. Ayah nggak perlu jemput." Balas Laven pada akhirnya. Awalnya ia tak akan pamit sebab ia pikir keperluannya juga tak akan lama. Hanya mampir untuk mengambil barang yang sudah kakak kelasnya itu siapkan. Namun, jika ayah sudah bertanya, maka sudah menjadi kewajibannya untuk menjawab, memberi sedikit penjelasan.
"Cuma nanya. Ada ayah bilang mau jemput?"
Laven hanya menggeleng pelan mendapati sang ayah yang menatapnya tanpa kedip. Ekpresinya memang datar, tapi Laven menafsirkannya sebagai sebuah ledekan untuknya.
"Ayah pulang malam, kemungkinan makan di luar. Lebih baik kamu sekalian makan di luar."
Sosoknya mengangguk. Semua sudah diluruskan. Tak ada lagi kesalahpahaman seperti yang terjadi sebelum peristiwa ayah memeluknya. Persoalan ayah yang akan mencari bibi untuk membantu mengurus rumah pun akhirnya dibatalkan setelah sosoknya mengutarakan alasannya.
Keluar dari mobil, Laven berjalan melewati gerbang samping di mana jalan rayanya tak seluas jalan raya utama di gerbang depan. Dalam sekejap pandangan, Laven simpulkan jika masih sedikit manusia yang mengisi wilayah bangunan sekolahnya. Maklum, sekarang juga masih cukup pagi.
"Ka, lo tau Dhito kemana?"
Saka yang duduk di kursi tempat Dhito biasanya duduk tak berniat melepaskan pandangannya dari layar benda pipih berwarna putih. Cowok itu juga tak menoleh barang sejenak, sekadar memastikan apa sosok yang kini mendudukkan diri di sampingnya benar-benar manusia.
"Nge-dribble bola sama si Panca sama anak basket lain. Tumben nyariin."
"Buku paket gue kebawa Dhito." Balas Laven turut mengoperasikan ponselnya setelah mengetahui jawaban dari kemana perginya teman-teman sekelasnya. Kemungkinan mereka berkumpul menyaksikan di lapangan.
"Panca ada beban pikiran. Eh, taunya Dhito juga ngeh sama yang gue pikirin. Orangnya ada cerita sama lo?"
Jeda.
"Bukannya apa-apa. Gue malah lega kalau di antara kita ada yang diajak cerita. Cuman orang kayak lo yang paling besar kemungkinannya bakal dipercaya Panca. Apalagi akhir-akhir ini, gue ngerasa Panca misah dari anak-anak kelas dan lebih sering bincang berdua sama lo." Saka masih sibuk dengan game yang ia mainkan di ponselnya.
"Lo bisa nanya Panca."
"Gue bukan Dhito yang meski tau jawabannya tetep kepala batu buat nanya. Slow.. Gini-gini gue tau kencenderungan orang-orang. Gue emang sebangku sama si Panca, kelihatan lebih sering bareng. Tapi buat cerita, nyatanya gue lebih blak-blakan ke Dhito karena gue sendiri lebih cocok sama respons temen sebangku lo yang juga sama-sama asal njeplak."
"Berarti lo udah tau jawabannya."
Saka mengangguk. "Weekend gue mau ke Kilomed nyari komik. Gue mau nyari temen dan nggak mungkin gue ngajak pasangan kutu buku kelas kita. Jagain orang kencan yang ada."
"Sabtu sore gue bisa. Tapi gue nggak janji. Waktu tepatnya kabarin lagi."
Giliran Saka yang mengangguk. Obrolan sementara selesai, permainan pun juga Saka disudahi. "Gue mau sarapan ke kantin. Kalau si Adel masuk, bilangin kalau dicari jodohnya rama."
***
"Sore, Pakde." Sapa sosoknya usai membuka pintu bagian depan.
"Selamat sore, Mas Laven. Monggo, Mas. Sehat to, Mas?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lavenario
Ficción GeneralTak ada yang istimewa dari kisahnya. Sebut saja ia terlalu pasrah menerima. Kalau ada kata 'berjuang,' maka perjuangannya hanyalah tentang bagaimana caranya bertahan. Emosinya selalu ia pendam. Kalau pun tidak, maka orang lain hanya boleh melihat em...