Bagian 44

269 28 1
                                    

Ladisha bisa bernafas sedikit lega usai mendengar kesediaan sang putra yang mau bercerita. Dan karena permintaan putranya sendiri juga Disha yang awalnya hendak mengantarkan Laven ke rumah Rendra atau ke rumah sakit jika berhasil membujuk menjadi berubah haluan mampir ke rumahnya.

"Bibi baru istirahat. Tadi mama anterin ke klinik buat periksa. Batuk pilek, tapi alhamdulillah mama tanyain udah nggak demam. Mama ambilin makan dulu, ya? Obatnya dibawa?" Kalimat pembuka itu terdengar cukup panjang, terucap begitu pintu utama itu berhasil dilewati.

"Aku udah makan."

"Tadi pagi?" Sambungan pertanyaan yang tak mendapat jawaban itu sudah bisa Disha simpulkan maknanya. Maka daripada mengandalkan suara, Disha lebih memilih bergegas pergi membawa sepiring nasi lengkap dengan lauknya. Sengaja ia bawa ke ruang tamu sebab putranya sendiri yang menolak diajak masuk lebih dalam.

"Kalau mama suapin, mau?"

Laven tak membalas, bahkan sekalipun dengan anggukan atau gelengan. Namun, tangannya yang terulur mengambil alih piring yang dibawa mama dan tanpa ragu mulai menyuapkannya masuk ke mulut sudah menyiratkan jawaban darinya.

Disha masih mencoba tegar. Meski bibirnya kelu, ia masih tersenyum tipis melihat sosoknya tak lagi menolak untuk makan. Lantas, sebelum ia sendiri duduk, diambilnya segelas susu coklat hangat dan segelas air putih yang ia sendiri yakin tak akan dihabiskan.

Duduk tenang, wanita itu tak bisa mengalihkan pandangannya dari sang putra yang tengah makan dengan tenang. Bahkan cara makannya jauh lebih sopan dari cara makan Nalendra yang menurutnya sudah dalam batas tata krama.

"Mama ambilin baju ganti, ya?" Ladisha menawarkan sesaat setelah sang putra selesai minum. Meski hanya air bening yang disentuh sosoknya, menganggurkan segelas susu coklat hangat yang padahal Disha tahu bahwa itu kesukaan putranya. Mungkin saja sosoknya sudah kenyang usai menghabiskan seporsi makanan di saat tengah enggan.

Kali ini Laven menggeleng. "Kapan aku bisa cerita?"

"Sekarang. Laven bisa cerita apapun."

Jeda panjang itu tercipta. Kalau saja ada yang tahu bahwa Laven sendiri bingung hendak memulai darimana. Rasanya ia ingin menyewa juru bicara sebab yakin jika kontrol emosinya memang sudah cedera sedari kemarin.

"Tante Dian bilang. Mama awalnya dulu nolak, tapi mendiang nenek bujuk mama buat nerima."

Jeda itu kembali Laven ciptakan guna menghirup oksigen yang ia butuhkan. Berharap dengan begitu ia bisa lebih tenang dan lebih lancar untuk berucap.

"Mama akhirnya setuju setelah nenek cerita kebaikan keluarga Oma, juga karena mama nggak enak sama Oma. Bener 'kan, Ma?" Suaranya kali ini lebih terdengar jelas daripada sebelumnya yang hanya terdengar begitu lirih, antara ragu atau bahkan dirinya sendiri tak sampai mau bicara.

"Mama akhirnya mau asal tetep bisa lanjut studi, meskipun mama tau kalau ayah dulu pernah suka sama Tante Lena."

"Ya." Singkat Disha sebelum kembali menyambung.

"Meskipun mama deket sama Oma dan yang lain, mama sama sekali nggak pernah deket sama ayah. Yang mama tau, ayah juga mau nikah sama mama karena Oma. Tante Dian juga cerita itu 'kan?" Begitu cara Disha mengembalikan pertanyaan.

Laven diam tak menjawab. Begitupun Disha yang juga mendadak ikut diam, menatap lekat wajah sang putra yang kini mengalihkan pandangannya ke arah samping.

Ladisha hanya sedang menimang. Keputusannya untuk tidak terlalu terbuka dengan masa lalu demi menjaga perasaan sang putra memang benar-benar sudah gagal. Padahal jika memang akan terang-terangan, ia tak punya rencana untuk menceritakan dalam waktu dekat. Paling tidak sampai putranya lulus dari sekolah menengah atas mengingat usia Laven bahkan tak selaras dengan jenjang pendidikan seharusnya.

LavenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang