Teh panas itu tersaji manis dalam dua cangkir putih berukuran mungil. Uapnya masih mengepul hebat; membuat uap air tercipta jika saja ada penutup di atasnya. Kini, satu tangan meraih gagang cangkir dan langsung menjauh kala merasakan panasnya tak sesuai perkiraannya. Sedangkan tangan lain yang tak lain adalah si pembuat sekaligus penyaji tengah memeluk guling dengan berbaring miring di atas kasur.
"Jadi?" Itu adalah pertanyaan Nanta yang sosoknya biarkan begitu saja.
Anggap saja ia plin-plan, tidak konsisten. Rasa ingin tahu yang kerapkali menuntut itu kini telah surut. Jeda yang Laven ambil guna menetralkan pikiran dan batinnya yang kacau membuahkan hasil yang manakala jika ia bagikan ke yang lebih tua pasti tak akan diterima.
"Aku udah chat mama. Harusnya bentar lagi ke sini."
"Semendadak gini?"
Dahi sosoknya mengernyit tak paham. Laven merasa bahwa ia sudah menghubungi mama sejak kemarin dan akhirnya disanggupi malam ini mengingat jadwal mama yang cukup padat. Hingga kalimat yang lebih tua terucap ia baru paham.
"Semendadak ini kamu ngasih tau?"
"Then you'll say 'Now it seems like I'm worthless for you.' right?" Ucap Laven yang kini diam menunggu validasi, mungkin?
Nanta justru terkekeh renyah. Ia membenarkan jika itu adalah dirinya yang dulu. Tapi untuk sekarang, lebih tepatnya sejak sikapnya nyatanya membuat sosok yang ia sayangi itu terluka, Nanta memutuskan untuk lebih bersikap lebih bijaksana. Ya, segala yang berlebihan memang tak baik. Siapa sangka jika usahanya membuat adiknya selalu dalam penjagaannya justru gagal sebab sikapnya sendiri. Itu sangat egois dan tidak sehat. Entahlah apakah sikapnya sudah bisa dikatakan bukan lagi protektif, tapi malah posesif.
"Nggak. Pede banget kamu, Dek. Siapa malah yang bilang sama bunda buat bujuk? 'Bunda, tolong telfon lewat Om Bram. Kasih tau kakak kalau aku sakit.' Aduh kasian banget yang kangen sama beloved brother-nya. Jarang-jarang loh manjanya keluar. Emang harus didiemin dulu benernya."
Si bungsu tak menanggapi, sibuk membungkus sedikit penyesalan dan rasa malu atas ucapannya dulu. Berusaha mengalihkan, tangannya kembali sibuk menggulirkan tampilan bacaan di layar ponselnya.
"Nggak asik, ah." Keluh Nanta yang justru memejamkan mata.
"Tanggapannya nggak relate."
"Yang penting fakta."
Dan bersyukurlah kala Bunda menampakkan diri memanggilnya; memberitahu jika mama ternyata sudah tiba.
"Hai, lagi pada apa?" Itu suara Nalendra yang sedikit mengejutkan, tapi mungkin hanya bagi yang termuda. Sebab, Nanta saja kini masih memejamkan mata tak melepaskan guling di dekapannya; seolah tak terganggu dengan kemunculan suara seseorang yang tiba-tiba.
"Lo nggak lihat gue lagi merem?"
"Kak, ngomongnya, ih." Bunda menegur, menghela nafas setengah pasrah sebab ya memang begitu pembawaan putranya.
"Orang udah bener kok, Bun. Dia aja basa-basinya kurang kreatif."
Bunda, satu-satunya perempuan di sana hanya bisa pasrah. Perempuan itu tersenyum tak enak hati yang dibalas Nalendra dengan senyuman tipis dan gelengan sebagai tanda tak mempermasalahkannya. "Ya udah. Bunda keluar dulu, mau goreng risol."
"Aku keluar dulu, Kak. Kalau mau di sini aja temenin Kak Nanta." Ucap sosoknya yang ditujukan untuk Nalendra tak berangsur lama setelah kepergian satu-satunya wanita di sana.
"Eh, enak aja. Kakak ikut, ya!" Nanta yang tak terima otomatis bangkit, segera melangkah meskipun sedikit oleng karena terburu-buru. Sia-sia ketergesaannya sebab yang lebih muda tak menyetujuinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lavenario
General FictionTak ada yang istimewa dari kisahnya. Sebut saja ia terlalu pasrah menerima. Kalau ada kata 'berjuang,' maka perjuangannya hanyalah tentang bagaimana caranya bertahan. Emosinya selalu ia pendam. Kalau pun tidak, maka orang lain hanya boleh melihat em...