Bagian 15

351 37 9
                                    

Jadilah pagi ini Laven berangkat bersama Panca. Alasan Panca menginap tak lain sebab hujan baru mereda sampai hampir pukul sembilan. Setelahnya, meski reda petir pun kembali menyapa bersaman dengan datangnya angin yang tak terduga. Itu juga saran dari Rendra dengan menawarkan bahwa ia sendiri yang akan memintakan izin. Namun, jika tidak Rendra sendiri yang berniatan ingin mengantarkan. Tapi, nyatanya ayah Panca bahkan berterima kasih dan balik meminta tolong agar putranya itu tetap berada di dalam rumah.

Sekarang pukul enam lebih empat puluh tiga menit saat keduanya masuk ke kelas. Memang siang sebab Laven sendiri yang meminta. Sosoknya pun sangat tampil beda dari biasanya, yang kali ini lengkap dengan masker dan jaket denim lama milik Nanta yang syukurnya justru melekat pas di tubuhnya. Alasannya? Katakanlah menyamar, tapi Laven memang melakukannya agar orang yang ia hindari tak mudah mengenalinya.

"Woy-lah! Gue hampir pangling, Ven." Celetuk salah seorang teman perempuan yang berpapasan dengannya. Laven abai, sebab temannya itu juga langsung melanjutkan langkahnya setelah menampakkan raut keterkejutannya. Dan tak hanya satu, Laven cukup dibuat kurang nyaman dengan tatapan siswi yang sekarang curi-curi pandang ke arahnya. Menghela nafas lelah, Laven jadi menyesali keputusannya. Padahal ia tak berubah banyak.

Laven meletakkan tasnya, lantas bergegas keluar dari kelas yang penghuninya full perempuan. Panca memang tak langsung ke kelas dan pamit mampir ke ruang musik.

"Laven!" Suara Adel dari kejauhan terdengar. Cowok itu pada akhirnya membalikkan langkahnya menghampiri Adel bersama Lia yang juga menghampirinya.

"Gue kira lo nggak berangkat, Ven." Lia bersuara. "Cuma mau bilang, Kak Lendra tadi ke kelas nyariin elo. Terus karena nggak ada, Kak Lendra cuma nitip buku-buku."

"Ada di laci gue bukunya." Sahut Adel tanpa basa-basi.

"Thanks ya, gue duluan." Balas Laven seadanya. Cowok itu bergegas pergi mengabaikan tatapan kedua temannya yang hanya bisa saling pandang. Tentang Lendra, Laven sudah menduganya. Secara logika, jelas tak selamanya ia bisa menghindar. Namun, jika dalam waktu dekat, Laven benar-benar belum siap.

"Mau kemana, Ven?"

"Kantor. Darimana?"

Dengan wajah, Saka menunjuk arah kantin. "Habis sarapan gue."

"Panca ada di ruang musik. Gue tadi disuruh bilang semisal lo nyari."

"Gue malah nyari si Dhito. Tasnya di kelas ada, eh orangnya ngelayap kemana. Heran gue. Eh, Minggu fix?"

Laven mengangguk sekali. "Gue duluan."

"Yoi!" Saka menepuk pundak temannya, lantas turut melangkah pergi dengan arah yang berseberangan.

"Laven."

Laven ingin abai dan berlalu begitu saja jika lengannya tak dicekal. "Bukunya udah diterima. Thanks."

"Please, only a while. We need to talk.
Kakak pikir kamu butuh denger, Laven."

"But, I don't feel the need for it. Can you let me go? I've important business."

Menghela nafas lelah, Lendra pada akhirnya mengalah. Namun, jelas ia tak akan menyerah. Bertahun-tahun ia harus sabar dan menahan. Dan kini, ia tak mau semuanya berakhir begitu saja.

"Mama mau bicara sama kamu."

Laven memang berhenti sejenak, tapi tak berangsur lama langkah sosoknya kembali menapaki lantai koridor, meninggalkan Lendra yang hanya bisa memandang kepergiannya dalam diam.

***

Ada sedikit penyesalan di diri Laven setelah berucap bahwa ia memiliki urusan yang penting. Laven yang semaksimal mungkin berusaha menjauhi Lendra justru harus berjalan ke bangunan kelas 12 di mana kakak kelasnya itu berada. Laven sengaja tak mau berbasa-basi sampai harus mengirim pesan untuk menanyakan kesediaan atau keperluannya mau apa yang bahkan isi pesan beruntun dari Lendra pun belum ia buka sampai sekarang. Alhasil, cowok itu harus memutar langkahnya sebab yang ia cari tengah berada di ruang musik untuk latihan ujian praktik bersama teman sekelompoknya, itu informasi yang ia dapat dari salah satu kakak kelas yang ia kenal.

LavenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang