Bagian 30

319 36 23
                                    

"Ibu tidak di rumah, Mas. Tadi pamit sama Bibi mau ketemu teman lamanya. Baru nanti mau ke rumas sakit."

Meski harus meninggalkan Panca sebagai tamunya, Laven tetap berinisiatif pergi seusai menerima telepon dari Bibi yang tadinya sempat tak terangkat saat pertamakali ia hubungi. Ya, dengan hati-hati Laven bertanya sekaligus beralasan, agar Bibi juga ikut kepikiran perihal hubungannya dengan mama.

Tentang Panca, sebenarnya urusan temannya itu juga dengan kakaknya. Jadi, Laven juga merasa tak begitu terbebani jika harus meninggalkan rumah. Lagipula  sosoknya juga sudah pamit, mengatakan hal yang sejujurnya. Bagaimana pun, Panca juga pasti paham bahwa ia dengan Lendra kerap terlibat dalam kegiatan yang intens.

Perihal kondisi kakaknya, Laven sudah diberitahu Bibi jika kondisinya sudah membaik. Namun, tetap saja masih ada rasa kemanusiaan yang harus Laven tuntaskan agar tak meninggalkan ketidaknyamanan di hatinya. Bagaimana pun, hubungannya dengan Lendra kemarin sudah cukup membaik. Itu pun ia sendiri yang berinisiatif memulai dan tanpa banyak drama Lendra juga mengimbanginya. Laven tak se-plin plan dan se-kekanakan itu untuk menarik ulur atau justru mengakhiri. Meski tak habis pikir dengan tindakan Lendra, tetap saja ia belum tahu alasannya.

Di depan pintu ruang rawat kakaknya, Laven berdiri. Cowok itu dengan pelan membuka pintu dengan lebar yang sekiranya bisa mengantarkannya masuk, lantas kembali menutupnya dengan hati-hatu. Bahkan, salam yang ia ucapkan mungkin hanya Laven sendiri yang bisa mendengar.

Berjalan mendekat, Laven bisa melihat manik mata kakaknya yang semula seolah nampak kehilangan cahayanya, kini nampak sendu menatapnya. Mengela nafas pelan, sosoknya mulai menyapa.

"Gimana? Udah mendingan belum?"

"Kakak minta maaf." Dari sekian banyak yang ingin Lendra katakan, hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutnya.

Laven kembali menghela nafas pelan. Cowok itu memutuskan untuk duduk meskipun tak ada yang menyuruh. Pandangannya kini menerawangi ventilasi udara yang tertutup karena adanya AC dalam ruangan. Meski begitu, lewat ekor matanya Laven bisa menangkap bahwa manik mata kakaknya yang sudah berkaca-kaca sejak kedatangannya kini tengah menyorot ke arahnya. Entah sejak kapan pula posisi kakaknya yang tadinya bersandar menjadi duduk tegap seperti sekarang.

"Apa Kakak sadar kalau siomay itu ada udangnya?"

Laven pikir, butuh detik demi detik yang harus terlewati atau jajaran kalimat beralasan lebih dahulu sebagai pembuka jawaban. Tapi, Lendra tak butuh dan memberikannya, kakaknya itu tanpa ragu tanpa mengulur waktu memberikan anggukan singkat.

Tentang alasan Lendra melakukannya Laven benar-benar tak mengerti. Menurutnya, Lendra teramat pintar untuk mengetahui risiko yang akan terjadi atas tindakan yang dilakukan. Dan, kenapa kakaknya itu tak berpikir jika tindakan konyolnya akan merugikan banyak pihak? Terutama diri kakaknya sendiri? Itu berkaitan dengan nyawa, apa yang ada di pikiran kakaknya saat itu?

"Alasan Kakak lakuin itu apa?"

Manik mata yang tengah meredup itu Laven tatap lekat-lekat. Meski belum pernah sekalipun ia dapati Lendra berbohong padanya, tetap saja ia ingin menyelami seberapa dalam makna dari perkataan yang akan kakaknya ucapkan. Karena jujur, Laven tak pernah berpikir ke arah negatif terkait tindakan Lendra kemarin.

Dan, dalam detik demi detik yang berlalu, hanya hening yang mengisi. Objek yang Laven tatap juga kini berpaling, menutup dan menghapus air matanya dengan gerakan tangan. Sungguh, selembut itukah hati Nalendra? Laven tahu air mata yang ia lihat adalah lambang penyesalan yang mendalam.

"Alasan kakak mungkin nggak bisa kamu terima. Tapi, kalau kakak boleh minta, tolong jangan diemin mama. Sebagai gantinya, kamu nggak perlu lagi maafin kakak. Kamu benci kakak pun, bakal kakak terima."

LavenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang