Bagian 9

387 48 10
                                    

Rumah dengan desain eksterior abu-abu dengan warna hitam sebagai aksen fasad itu nyatanya tak memberikan kesan muram. Justru terlihat semakin elegan dengan banyaknya jendela panjang yang berukuran cukup lebar. Lewat kaca tembus pandang, tirai warna putih tampak menjuntai jika dilihat dari luar.

Rumah dua lantai itu berukuran cukup luas, pun dengan halamannya. Maklum, Om Brama merupakan dokter spesialis bedah yang memang berasal dari keluarga terpandang. Itu yang Laven ketahui berdasarkan cerita Bunda bahwa Oma mengizinkan Bunda menikah muda memang karena calonnya sudah mapan dalam segi material dan kedewasaan.

Saat mobil yang dikendarai ayah sudah terparkir sempurna, Laven akhirnya membuka pintu. Cowok itu meraih tas ransel yang menampung barang yang ia bawa. Meski setelan ganti dan barang-barangnya juga sudah tertata rapi di lemari kamar Nanta, tetap saja ada hal yang masih perlu ia bawa.

"Wah, tamu yang Bunda tunggu akhirnya nyampe." Itu suara Bunda yang menyambut kedatangannya. Perempuan itu meraih punggungnya, mengajaknya melangkah semakin masuk. Rendra yang tak mendapat sambutan dari kakak kembarnya juga mengekor. Pria itu lebih dulu menyalami ibunya yang tengah duduk membaca koran.

"Oma apa kabar?" Tanya Laven mendekati wanita sepuh yang kini mendongak menatapnya. Cowok itu membungkuk, menyalami wanita yang tak lain ibu dari ayahnya.

"Oma sehat. Sudah makan?"

Laven mengangguk, memberikan senyum yang ia punya. Sudah, memang sampai di situ saja. Sebab, perhatian Oma kini kembali fokus dengan koran yang dibaca. Tak mau mengganggu, sosoknya kini kembali menghampiri Lita. Sementara ayahnya yang sudah tak nampak keberadaannya mungkin saja sudah istirahat atau bersih-bersih di kamar.

"Bunda, jangan kasih tau Kak Nanta dulu ya?"

"Iya, ngikut ajalah Bunda. Kalau dikasih tau, bisa-bisa kakakmu bolos les."

Laven tersenyum simpul. Cowok itu bergegas naik ke lantai atas di mana kamar kakaknya itu berada. Ia berencana mandi lagi, meski sepulang dari pembinaan ia sudah sempat mandi dan langsung memulai perjalanan.

Kamar kakaknya itu bersih, tapi kurang rapi untuk area meja belajar dan rak bukunya. Padahal biasanya tak seperti ini. Apa mungkin efek latihan exam, ujian praktik mendatang, dan berbagai ujian lainnya berefek demikian? Belum lagi kakaknya itu tak hanya bimbel di sekolah, tapi juga bimbel di luar, belum lagi les privat di rumah untuk mengisi weekend.

Sebagai adik yang baik maka sosoknya berinisiatif membereskan buku-buku, lembaran kertas, dan alat tulis yang bisa dibilang cukup berserakan. Setelah usai, barulah sosoknya menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Katanya mandi bisa melepas lelah usai perjalanan panjang.

"Kak Nanta pulang jam berapa, Bunda?"

"Sebentar lagi."

"Kamu mau ikut Bunda sama Bibi belanja? Atau ajak ayahmu jalan-jalan, mampir ke rumah sakit ketemu Om kamu sana. Biar makin mantep kalau mau ambil kedokteran."

Laven menggeleng. Untuk sekarang ia sedang malas kemana-mana. Sepertinya setiap harinya juga begitu; cukup di rumah saja. "Di rumah aja, nemenin Oma. Ayah juga pasti capek nyetir lama."

"Ya udah, Bunda mau pergi dulu. Kalau mau makan, lauk tadi siang masih. Oma loh yang masak sup dagingnya. Kayaknya sengaja karena denger kamu bakal ke sini."

Benarkah? Kalau benar Laven bahagia bukan main. Namun, itu hanya dugaan Bunda 'kan? Apa hal yang hanya dugaan itu bisa ia percaya? Tidak juga, karena namanya dugaan belum terbukti kebenarannya.

"Oma, boleh aku duduk di sini?"

Wanita sepuh itu mengangguk, membenarkan kacamatanya. Lantas, diletakkanlah koran yang barusan beliau baca. Kini, perhatiannya terpaku pada remaja yang duduk di sampingnya.

LavenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang