Bagian 42

314 32 6
                                    

Semalam adalah salah satu malam yang terasa panjang untuk dilewatkan. Ego itu membuat sosoknya lebih merasakan perasaan was-was bercampur gelisah dibandingkan dengan rasa bersalah. Baginya, semua sama-sama salah. Baik ayah, mama, dan dirinya sendiri.
Rasanya justru aneh mengetahui dirinya aman-aman saja di rumah Tante Dian. Bagaimana dengan ayah, mama, dan yang lainnya? Tentu saja mereka mencarinya bukan? Atau justru mereka semua sudah lelah dengan sikap kekanak-kanakannya akhir-akhir ini? Percayalah, cowok itu juga menyayangkan sikapnya yang akhir-akhir ini sering terbawa suasana. Tapi mau bagaimana lagi? Apa yang ia lakukan merupakan bentuk reaksi alami dari kejadian yang menimpanya.

Kini, dalam suasana pagi yang cerah Laven hanya bisa termenung; menatap halaman samping rumah yang asri lewat kaca jendela kamar yang sudah tersibak tirainya. Semalam ia sudah menimang-nimang, bahwa bagaimanapun ia akan kembali ke rumah. Tak mungkin bukan ia akan tetap di rumah Tante Dian? Mau sampai kapan memang? Ia juga sadar diri bahwa dirinya tak bisa kemana-mana sebab hidupnya selama ini saja masih bergantung pada ayah.

Mungkin setelah ini yang akan ia dapatkan adalah tatapan kekecewaan ayah atau kekhawatiran bunda. Setelah itu, ia berharap semua akan kembali meskipun tak sebaik sediakala. Semua itu, Laven sudah enggan memikirkannya dengan melibatkan rasa. Meski tak bisa sepenuhnya menerima, ia akan berusaha lupa. Bersandiwara bahwa dirinya sudah tak butuh penjelasan itu, bahwa ia sudah tak mau tahu lagi. Fokusnya hanya ada pada bagaimana agar jalan hidupnya bisa lebih baik. Ralat, lebih ke bagaimana agar langkahnya dapat tetap tegap meskipun jalan yang ia lewati adalah jalan terjal penuh jebakan.

Tapi, tahu tidak? Padahal baru saja ketenangan dalam jiwanya itu bertandang. Dan kini, secepat ini, detak jantungnya berpacu meningkat. Suara Tante Dian yang terdengar memanggil-manggil nama ayah terasa nyata dengan derup langkah dari kaki-kaki yang entah berapa jumahnya. Suara itu terasa semakin jelas tertangkap indra pendengarannya. Jadi, bukan hal yang mengejutkan lagi jika kini keberadaan beberapa orang yang sudah ia duga kuat berada di hadapannya.

Nyatanya, ayah bukan tampak kecewa. Pancaran kemarahan amat kentara bisa ia lihat dari tatapan tajam ayah yang dilayangkan untuknya. Dan, dalam sekejap ia baru menyadari bahwa lengan tangan kanannya terasa sakit akibat tarikan ayah yang tak main-main. Itu justru terlihat seperti menyeretnya untuk ikut serta. Tentu saja hatinya terasa sakit mendapati ayah yang untuk pertama kali berlaku kasar. Apa perbuatannya sudah dipandang sangat keterlaluan?
Memberontak pun tak bisa. Laven hanya bisa mengimbangi langkah lebar ayah agar lengannya tak semakin sakit. Juga agar ayah tak sampai menanggapi kata-kata kasar yang masih Tante Dian layangkan.

Barulah, sampai di ruang depan ayah melepaskan cengkramannya. Itupun sebab protesan mama yang langsung berlari memeluknya. "Ada Mbak bilang kamu bisa jemput Laven sekarang? Sama mantan suami kamu lagi. Keterlaluan kamu, Sha!"

"Aku minta maaf. Tapi, udah seharusnya Mbak nggak lagi ikut campur."

"Bisa kamu ngomong kayak barusan? Belum kapok nggak dengerin ucapan, Mbak, hah?!"

"Pulang, Sha." Begitulah perintah singkat ayah sebelum kembali menariknya untuk ikut. Teriakan Tante Dian yang protes sebab mama lebih menuruti perintah ayah; bahkan langkah kaki mama yang menyusul di belakang bisa ia dengar jelas meksipun fokusnya kini ada pada kemarahan ayah. Ketegangan itu terasa semakin kuat kala mama yang duduk di belakang dihadiahi perintah diam oleh ayah ketika mengajaknya berbicara. Jadi tak bisa dipungkiri jika tak ada suara manusia yang terdengar.

Lalu, apa semuanya sudah selesai? Tidak, Laven pikir ini baru permulaan. Ayah masih saja menariknya dengan kasar, menggiringnya agar segera ikut untuk masuk rumah. Mama yang memprotes agar ayah bisa lebih pelan-pelan saja diabaikan.

LavenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang