Laven bisa merasakan tidur nyenyak setelah malamnya mengobrol dengan bunda lewat panggilan telepon. Tak ada pembahasan yang berarti. Hanya obrolan ringan yang berisi cerita dan nasihat dari bunda untuknya saja. Laven juga masih belum bisa bercerita lebih. Berkaitan dengan cerita bahwa ia sudah bertemu mama, Laven yakin Nanta sudah memberitahukan hal itu pada bunda.
Dan pagi ini, sosoknya bangun sebelum alarm berdering. Setelah mengumpulkan nyawa, sosoknya lantas merapikam selimut, seprai, guling, dan bantalnya. Barulah kemudian Laven mencuci wajah dan menggosok gigi. Sebagai catatan, Laven memang terbiasa tak langsung mandi jika tak masuk sekolah.
Adzan akhirnya berkumandang kala sosoknya sudah rapi dengan baju bersihnya. Belum mencapai pintu, suara ketukan sudah terdengar. Laven pikir itu Lendra yang mungkin sekalian menanyainya apakah akan pergi bersama. Namun, nyatanya itu adalah mama yang dengan senyumnya berdiri di ambang pintu kamarnya. "Mama kira belum bangun soalnya pintunya masih ditutup."
Laven memilih keluar. Netranya beralih memandang kamar di sebelah yang pintunya masih tertutup rapat. Seolah tahu maksudnya, mama memberi informasi, bahwa Lendra sudah berangkat beberapa saat yang lalu. Mama juga tak memberi tahu alasannya, mungkin sudah paham bahwa mengungkit hal itu pun sosoknya kurang menyukainya.
"Aku berangkat dulu."
"Hati-hati ya, Sayang."
Meski terasa kaku dan belum terbiasa, Laven tak ragu menyalami mama. Dan siapa sangka wajah yang semalam ia buat menangis itu kini berbinar terang karena sikapnya. Laven juga tak memungkiri bahwa hatinya menghangat karena hal sederhana yang ia lakukan.
Langit di luar masih cukup gelap. Namun, jalanan juga sudah dilewati beberapa kendaraan yang bergantian melintas dengan jeda. Saat mendekati tujuan, entah kenapa hatinya terasa sejuk mendengar kumandang adzan yang ia dengar sekarang. Suara itu adalah suara Nalendra, saudaranya sendiri. Perasaannya Laven saat ini tak karuan. Lendra itu pribadi yang baik dan dekat dengan Tuhan. Kalau ia menyakiti makhluk yang disayang Tuhan, apa hidupnya bisa tenang? Sekarang saja, hatinya goyah. Cukup menyesal dengan ucapannya pada Lendra beberapa hari yang lalu. Namun, lagi-lagi ada sederet pembelaan yang berbisik padanya.
Berbeda dengan saat berangkat tadi. Langit di luar kini lebih bercorak. Arunika nampak dari arah terbitnya mentari. Biasanya Laven langsung pulang tanpa menunggu tausiyah selesai. Namun, melihat Lendra yang justru duduk menepi seperti jamaah yang lain, Laven mengikuti.
Saat selesai, nampak jika kakaknya itu masih diam di tempatnya padahal yang lain sudah membubarkan diri. Laven mendekat. Namun, sebelum berbicara kakaknya itu dengan santun justru menyuruhnya pergi lebih dulu bahkan sebelum Laven berbicara. Sosoknya hanya bisa mengangguk, bergegas pergi tanpa mengeluarkan suaranya.
Melamun itu memang tak baik, terlebih saat tengah berjalan. Helaan nafas itu berembus begitu saja kala merasa benda tajam menggores telapak kakinya. Laven memang berjalan di tepi, di bagian jalan tak beraspal yang permukaannya berupa tanah bercampur pasir kerikil. Beruntung sebab bukan paku yang menusuk telapak kakinya. Namun, sepertinya juga tak bisa dibilang beruntung sebab darah segar kini keluar banyak menandakan jika lukanya cukup dalam. Sebuah beling yang entah darimana asalnya Laven buang di bak sampah terdekat, tentu dengan jalan yang terpincang-pincang. Cowok itu lantas menepi dan berjongkok dengan tangan yang memeras area sekitar luka agar darahnya keluar.
"Kenapa?"
Laven mendongak mendapati Lendra yang kini ikut berjongkok melihat lukanya.
"Ini lukanya dalem, harus cepet dibersihin."
Laven mengangguk, lantas berdiri. Dengan tertatih-tatih sebab kaki kanannya tak dapat menapak sempurna, sosoknya kembali melangkah. Sejujurnya tak masalah. Sakitnya pun juga masih wajar. Laven hanya tak nyaman jika sampai kondisinya menarik perhatian yang berlalu lintas di jalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lavenario
General FictionTak ada yang istimewa dari kisahnya. Sebut saja ia terlalu pasrah menerima. Kalau ada kata 'berjuang,' maka perjuangannya hanyalah tentang bagaimana caranya bertahan. Emosinya selalu ia pendam. Kalau pun tidak, maka orang lain hanya boleh melihat em...