Bagian 34

280 33 8
                                    

Katanya mencoba menerima sesuatu yang berbanding terbalik dengan harapan bisa mengenyahkan rasa kecewa yang sudah lebih dulu tercipta. Tapi, bagaimana bisa? Mudahnya, rasa kecewa akan muncul ketika realita jauh dari ekspetasi manusia. Lantas, apakah saat yang tampak nyata sudah jelas berkhianat kita bisa menerima begitu saja? Tapi, manusia bisa apa menuntut skenario yang di luar dayanya? Maka, bagi Laven, mencoba menerima ‘secara perlahan’ mungkin bisa sedikit membantu untuk mendamaikan diri dengan kekecewaan yang ada.

Laven sadar betul jika dirinya bukanlah orang yang bijaksana. Ia hanyalah seorang remaja yang masih berusaha belajar, mencoba menyusun formula agar kehidupannya tetap diterangi lentera kedamaian yang berpijar, meski dalam situasi yang meletakkannya di titik tersuram dengan jalan pulang yang terjal. Selama ini, orang lain mungkin melihatnya sebagai sosok tenang nan damai yang menyukai situasi serupa. Tapi, tak banyak dari mereka yang bisa melihat bahwa air yang tenang itu memiliki kedalaman yang bisa menelan, dengan arus bawah yang menenggelamkan. Ia diam karena tak tahu bagaimana caranya mengungkapkan. Ia diam karena tak ada yang berkenan menceritakan masalah lampau yang membuatnya kebingungan. Ia diam karena merasa bahwa hanya hal itulah yang bisa ia lakukan. Ia diam karena banyaknya alasan lain yang tak bisa ia jelaskan secaras lisan karena hati dan otaknya pun rasanya sangat bertentangan dan suka berada dalam medan perang. Sebenarnya ia kenapa? Laven sendiri pun tak bisa menafsirkannya.

Esensi ketenangan itu benar-benar ia rindukan. Kini, rasanya tak peduli lagi jika arus bawah itu seperti ombak besar di pantai, karena yang ia inginkan adalah ketenangan yang benar-benar ada dalam jiwanya, bukan yang nampak dari luarnya. Rasanya sangat lelah. Topeng itu ia pakai bukan untuk mengundang pujian, tetapi untuk mengusir potensi keberisikan dari orang-orang luar yang mungkin akan berdatangan. Katakanlah itu pemikiran yang ‘ajaib.’ Namun, apa yang bisa orang lain rasakan ketika berada di posisinya yang sejak kelahirannya di dunia sudah menerima luka? Ya, Laven percaya jika ia tak sendirian merasakannya. Ada banyak orang di luar sana, bahkan yang seusia dengannya nyatanya memiliki kehidupan yang lebih jauh beratnya. Tapi, apa membandingkan itu adalah hal yang mulia? Bukankah semua manusia sudah punya porsi dan batasnya masing-masing dalam menanggapi luka? Kalau pun tidak, kenapa harus ada kata ‘terbatas’ di dunia?

“Jangan ngerasa kalau kamu yang paling menderita. Apa yang mama kamu rasain dulu nggak sebanding sama yang kamu rasain sekarang. Toh, mama kamu sudah kembali, kenapa kamu masih mempersulit diri?”

“Tante, maaf kalau ucapanku keterlaluan. Tapi, aku nggak ada maksud mau nuntut apa-apa dari mama. Bahkan, kalau akhirnya mama nggak nemuin aku pun, aku juga usahain bakal terima. Udah lama harapanku buat ketemu mama hilang. Anak yang menurut Tante malang ini, ternyata beneran malang. Mungkin, cuma beda dikit sama anak yang dibilang paling menderita.”

Luar biasa, tapi siapa sangka air mata dan emosinya justru menguap kala menanggapi tantenya sendiri. Laven hanya merasa kali ini Tante Dian sudah benar-benar menyakitinya, terlepas dari perkataannya yang mungkin benar. Mama mungkin mempunyai kisah lampau yang lebih buruk darinya. Mungkin, ia juga sudah mempersulit mama dengan sikapnya akhir-akhir ini. Tapi, jika itu soal bahwa ia merasa yang paling menderita, Laven tak pernah merasa seperti itu. Kata ‘paling’ sangat sakral untuk disematkan pada dirinya.

Tante Dian diam bukan? Apa karena baru tersadar bahwa katan ‘anak malang’ itu bahkan sudah lebih dulu pernah terlontarkan? Atau karena terkejut sekaligus puas karena pada akhirnya bisa memancing tangisnya? Begitu yang sebenarnya Tantenya itu inginkan?

“Aku ini cuma manusia, Tante. Yang juga bakal ngerasain sakit kalau ada yang nyakitin. Apalagi mamanya sendiri. Apa yang aku rasain, mungkin menurut Tante nggak sebanding sama yang mama rasain atau yang orang lain rasain. Tapi, menurut aku itu udah di luar batas yang bisa aku terima. Mungkin selain anak yang malang, aku ini juga anak yang lemah.”

LavenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang