Laven tak menyangka jika Tante Dian yang tak lain adalah saudara tua mama berada di restoran western yang dipilih Nanta sebagai tempat makan tujuan. Namun, beruntung sebab ia belum sempat memesan, pun Nanta juga langsung menariknya keluar dari dalam. Bukannya ia takut, tapi Laven hanya tak mau jika kakaknya akhirnya terpancing untuk ribut. Namun, mengingat yang barusan tempat umum, sepertinya akan aman-aman saja. Tapi, yang jelas tidak akan nyaman.
"Heran. Itu si Mak Lampir punya usaha resto, eh malah mampir ke tempat lain."
Laven tak membalas. Secara logika, usaha kuliner tantenya adalah restoran yang menyajikan makanan khas daerah serta kafe dengan makanan dan minuman yang kurang lebih sama seperti kafe pada umumnya. Cukup berbeda dengan restoran yang akan ia sambangi barusan.
"Pulang aja, Kak. Mampir supermarket biar aku yang masak."
"Ah, baru kepikiran. Kamu aja jago masak, kenapa nggak daritadi. Mana mood terlanjur rusak gegara si Mak Lampir."
Laven menghela nafas lelah. Sudah berulang kali ia menegur yang lebih tua agar memanggil tantenya dengan pamggilan semestinya, tapi lihat saja. Tak ada perbedaannya.
Setiba di parkiran, Laven langsung keluar. Cowok itu meminta Nanta agar menunggu di mobil saja agar ia lebih cepat menyelesaikan keperluannya. Jelas Nanta menolak meski pada akhirnya ia mengalah sebab tahu jika kali ini adiknya tak bisa dibantah. Memang tak lama sosoknya berbelanja, hanya sektar sepuluh menitan. Laven tak berpikir panjang, langsung memasukkan bahan apa saja yang termasuk dalam rencananya.
"Iya, Ma. Ini udah mau pulang."
Itu adalah suara paling jelas dan suara terakhir yang ia dengar sebelum seseorang menabraknya dari belakang.
"Eh, sorry-sorry. Nggak papa 'kan?"
Laven mengangguk sebab ia memang hanya sedikit terhuyung saja. Meski setengah wajah sosok yang lebih tinggi darinya itu terhalang oleh masker, Laven tahu jika sosok itu menatapnya penuh selidik lewat tatapannya yang tanpa kedip.
"Duluan." Sahut Laven sebab merasakan ketidaknyamanan yang menggelayuti hatinya. Cowok itu berusaha mengingat-ingat apakah dirinya mengenali atau sebelummya pernah bertemu dengan sosok dengan iris mata abu-abu barusan. Tapi, ia rasa tidak.
"Lama." Gerutu Nanta dengan wajah masamnya.
Arah pandang Laven terpaku pada jarum jam di tangannya. Hanya sekitar sebelas menit dan kakaknya bilang itu lama? Daripada membalas, cowok itu memilih diam mengecek notifikasi pesan yang masuk ke ponselnya.
"Sayang, ayo ntar sore jogging."
Laven mengangguk sekali, arah pandangnya masih terpaku pada layar ponsel miliknya sebelum akhirnya menoleh mendengar kekehan Nanta.
"Sayang-sayang. Enteng banget ya kakak ngomong. Gara-gara bunda nih yang dari kecil manggil kamu begituan." Nanta masih terkekeh renyah.
"Kalau kakak sampe manggil begituan pas di luar, siap-siap aja susah dapet pacar." Laven meletakkan kembali ponselnya.
Nanta seketika diam. Netranya melirik sang adik penuh selidik. "Nggak peduli. Yang deketin kakak banyak asal kamu tau."
Laven mengangkat bahunya tak acuh. Cowok itu memilih memejamkan kelopak matanya sebab mengantuk. Tapi ternyata ia benar-benar tertidur. Terbukti Laven baru sadar jika sudah sampai halaman rumah saat Nanta membukakan pintu mobil untuknya.
Lita membukakan pintu. Pandangan wanita itu tak terlepas dari bawaan yang dibawa keponakannya. Tangan Lita terulur hendak mengambil alih sebab Nanta mengatakan jika adiknya itu mengantuk. Namun, bantuannya mendapat penolakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lavenario
General FictionTak ada yang istimewa dari kisahnya. Sebut saja ia terlalu pasrah menerima. Kalau ada kata 'berjuang,' maka perjuangannya hanyalah tentang bagaimana caranya bertahan. Emosinya selalu ia pendam. Kalau pun tidak, maka orang lain hanya boleh melihat em...