Bagian 22

271 34 13
                                    

Kalau ada yang ingin tahu apa tujuan Laven berangkat sekolah teramat sangat pagi, maka jawabannya sudah berada di kelasnya. Netra sosoknya memang sudah menangkap keberadaan seseorang yang tadinya berjalan cukup berjarak di depannya, tapi memang sengaja ia biarkan. Maka yang terjadi adalah Lendra yang mungkin terkejut, tak menduga sosoknya sudah memasuki kelas. Ini baru pukul enam lewat tujuh menit, belum ada satupun siswa di kelas Laven yang masuk.

Seperti biasa, Lendra tak pernah absen memberikan senyumnya, meski hanya ekspresi datar cenderung muram yang adiknya layangkan saat ini. Tak masalah, Lendra memang tak semudah itu untuk menyerah.

"Dek-," Ucapan Lendra terputus, bukan karena terpotong oleh suara lain, melainkan sebab Laven yang melewatinya begitu saja.

Tiap gerak-gerik sosoknya tertangkap penglihatan Lendra. Mulai dari bagaimana adiknya itu meletakkan tas miliknya; lantas merogoh laci, mengeluarkan kotak bekal yang baru saja ia taruh. Kala melihat sosoknya mengeluarkan totebag kecil polos yang mungkin berisi dua kotak makan dua hari kemarin, Lendra mendekat untuk mengambil alih lebih dulu. Namun, cukup tak sesuai rencana sebab Laven justru ikut memasukkan kotak bekal berisi makanan yang baru saja ia taruh.

"Tapi ini baru aja kakak taruh." Suara Lendra terdengar pelan. Kedua tangannya masih diam, enggan menerima totebag yang Laven ulurkan. Hingga pada akhirnya Laven sendiri yang harus meraih tangan yang lebih tua agar mau menerimanya.

"Makanannya kurang enak ya? Kalau yang dari kantin aja, mau?" Lendra masih berusaha, meski jujur perasaannya tak baik-baik saja. Ia yakin dan tahu persis bahwa sosoknya adalah seseorang yang menghargai pemberian orang lain, apapun keadaannya.

"Makanannya enak. Tapi maaf, gue nggak bisa nerima lagi."

Pertamakali Lendra mendengar satu kata yang Laven tujukan untuknya, dan kata itu membuatnya bertanya-tanya ada salah apalagi dirinya? Terakhir kali bertemu, Laven bahkan tak sungkan memanggilnya kembali dengan sebutan seperti sebelumnya. Dan interasi selanjutnya adalah yang sekarang. Jika letak salahnya bukan tentang soal makanan, lantas dalam hal apa?

"Laven, kakak ada salah ya?"

"Kalau gue coba bilang soal hal-hal yang akhir-akhir ini bikin nggak nyaman, boleh?"

Lendra mengangguk. Berharap apa yang Laven sampaikan mampu membantunya untuk berbuat apa saja yang memang adiknya itu inginkan. Itu yang Lendra tunggu dan mungkin ini akhirnya meski intuisinya mengatakan jika perkataan adiknya akan cukup pahit didengar.

"Kak, gue tau lo orang baik. Tapi gue butuh banyak waktu buat nerima orang-orang baru. Kita emang saudara meski nggak nggak sedarah. Tapi, jangan lupa kalau kita nggak sedeket itu, kenyataannya juga bisa dihitung berapa minggu baru ketemu. Maaf, tapi apa bisa gue minta supaya semua dibuat sewajarnya aja?"

Percayalah, bibir Laven tak selancar itu mengucapkan semuanya. Meskipun yang ia katakan adalah sebuah kebenaran, Laven sadar dan tahu pasti jika ucapannya akan berujung menyakiti. Laven tahu, hati manusia di hadapannya itu tulus. Dapat ia lihat jika Lendra mungkin memang menyayanginya tanpa ada maksud tertentu. Namun, Laven juga masih sayang pada dirinya, tak mau mendekatkan dirinya pada hal-hal yang berpotensi membuatnya terluka.

"Apa yang kakak lakuin buat kamu nggak wajar ya? Maaf, tapi menurut kakak itu wajar. Bahkan masih banyak kurangnya, nggak sebanding banget sama yang bisa Nanta lakuin buat kamu. Mungkin nggak wajar karena kamu anggap kakak orang asing, bukan saudara yang nggak sedarah."

Laven masih tak berkedip. Arah pandangnya kini menelisik yang lebih tua yang terlihat meletakkan totebag ke meja terdekat, mengeluarkan kotak bekal dengan yang baru saja ia temukan di laci. Bekal itu terbuka, memperlihatkan menu yang berbeda dari dua hari sebelumnya.

LavenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang