Laven itu sosok yang introver, lebih suka untuk menikmati waktunya sendirian; sangat tertutup dengan orang-orang yang belum ia kenal dekat dan belum cukup untuk ia sebut mengenalnya. Bergabung dan bergerombol dengan circle tertentu sangatlah ia hindari. Sebab utamanya, cowok itu tak mengelak jika ia memang kurang cocok dan tak bisa memilih satu di antara beberapa circle yang terbentuk di kelasnya.
Sejauh ia mengamati, rombongan cewek-cewek di kelasnya begitu kentara membentuk circle tertentu. Entah itu golongan cewek populer sebab kecantikan atau sepak terjangnya yang sering wara-wiri mengurus organisasi, kelompok cewek suka kebebasan dan cukup berani hingga tak jarang melanggar aturan, kelompok cewek yang ambisius masalah angka dan prestasi, atau bahkan kelompok cewek kalem yang tak neko-neko pun membentuk kelompok tersendiri. Beruntung sebab circle pertemanan kelompok cowok cenderung fleksibel. Mungkin juga sebab jumlah cowok yang hanya bersembilan.
Laven menghargainya jika itu memang pilihan mereka dan mereka juga tampak nyaman-nyaman saja. Cowok itu pun merasa dihargai sebab teman-temannya juga seakan mengerti dan paham zona nyamannya. Meskipun lebih nyaman sendiri, Laven bukanlah tipikal cowok individualis yang lebih mementingkan kepentingannya sendiri dan tak peduli dengan lingkungan. Laven jarangkali, bahkan tak pernah menolak permintaan temannya yang tengah butuh bantuan selagi tak bertentangan dengan komitmennya. Sebagai contoh, Laven seringkali mengiyakan permintaan jajaran cewek-cewek ambis di kelas yang mengajaknya belajar bersama atau sekadar menanyakan padanya terkait materi yang belum mereka pahami. Itu lebih baik bukan daripada membiarkan sesuatu yang tidak baik terjadi, menyontek misalnya. Laven justru bahagia jika kehadiraannya itu terlihat dan berguna.
"Ven, wifi kelas error ya? Lo ada kuota nggak? Gue mau nebeng." Kedatangan Dhito, teman sebangkunya, mengalihkan Laven dari kegiatannya.
Laven mengangguk, segera meng-aktifan hotspot pribadi lewat ponselnya. "Use properly, for good things," ujarnya yang ditanggapi kekehan teman sebangkunya.
"Oke, Brother!" Balas Dhito yang sudah cukup mengenal sifat teman sebangkunya. Cowok itu lekas duduk di kursinya, lantas mulai melakukan kegiatan seperti yang Laven kerjakan: mengerjakan tugas biologi berupa 50 soal pilihan ganda ditambah 5 soal uraian sebagai ganti jam pelajaran yang kosong. Ralat, jadinya tidak bisa disebut jam kosong. Dua cowok itu sama sekali tak bersuara. Baru ketika Chika menghapiri bangku keduanya, fokus mereka teralihkan.
"Udah ngumpul form persetujuan, Ven?"
Laven menggeleng. "Gue nitip bisa?" Tanya cowok itu pada partner perjuangan olimpiade seangkatannya; sama-sama dari kelas sepuluh. Namun, selain beda subjek bidang, mereka juga beda kelas.
"Berdua ajalah." Tawar Chika.
"Modus lo." Dhito yang masih fokus dengan garapannya menyambar.
"Heh, omongannya dijaga ya, Mas!" Chika tak terima.
"Lah, elu repot-repot samper ke sini. Mipa delapan sama dua jauhan. Tinggal jalan dikit lagi, lo bisa tuh nyampe kantor."
Chika sudah akan memprotes. Namun, sebelum itu Laven sudah mengulurkan tangannya. "Biar gue aja yang ngumpul. Nanti tapi."
Tak perlu berpikir, gadis itu menyerahkan lembar persetujuan yang sudah ada di tangannya. "Thank you, Laven! Lo emang the best. Nggak kek yang di sebelah." Chika sudah ngacir pergi duluan sebelum Dhito menyuarakan protesannya.
"Tuh bocah naksir lo kali."
Laven menggeleng. Sejujurnya ia tahu Chika, partner perjuangannya itu, sudah memiliki pacar yang tak lain kakak tingkat beda jurusan. Namun, kurang tepat juga jika ia memberi tahu teman sebangkunya hanya dengan niat agar Dhito tak lagi merecokinya. Laven masih menghargai privasi orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lavenario
Ficção GeralTak ada yang istimewa dari kisahnya. Sebut saja ia terlalu pasrah menerima. Kalau ada kata 'berjuang,' maka perjuangannya hanyalah tentang bagaimana caranya bertahan. Emosinya selalu ia pendam. Kalau pun tidak, maka orang lain hanya boleh melihat em...