"Bang, gue langsungan ya." Pamit Panca yang masih stay di motornya. Cowok itu memang hanya berhenti parkir untuk menurunkan Laven yang membonceng.
"Yoi! Mendung juga ini. Hati-hati, thanks ya Panca, udah kasih adek gue tumpangan." Nanta yang baru saja muncul dari dalam membalas dari teras rumah.
"Santai, Bang. Gue juga sering bikin Laven repot." Balas Panca mulai men-starter kembali motornya. Beberapa detik kemudian, cowok yang tingginya hampir hampir menyamai tingginya Nanta itu sudah tak nampak. Merangkul yang lebih muda, Nanta menggiring sosoknya masuk.
"Belanjanya gimana, Kak?"
"Bantar lagi hujan. Mendung gini mager. Mending bobok ngelonin kamu."
Menghembuskan nafas panjang, Laven mendudukkan diri di sofa depan. Ya kalau dengan dirinya, hanya di saat-saat tertentu mode serius kakaknya itu menyala, sisanya hanyalah keusilan mendarah daging yang memang sudah hobinya membuatnya harus banyak bersabar.
"Nanti order makanan aja. Besok belanjanya. Buat anak rumahan, pasti capek dari pagi sampai sore di luar."
"Aku sekolah dari pagi sampai sore, loh."
"Ya beda. Beli apa kamu? Ah, pindahlah, Dek. Mendung gini gerah, AC kamar lebih dingin." Nanta pergi lebih dulu, membawa kantong belanja berisi buku milik sosoknya. Laven tak habis pikir dengan kakaknya yang masih mengeluh gerah padahal sudah memakai sleeveless shirts. Sepertinya kakaknya itu harus dipindah ke Alaska sekalian. Termoregulasinya agak berbeda dari yang lain.
"Design cover-nya cakep. Kayak kakakmu ini, Dek. Ya nggak?"
"Ya."
Nanta terkekeh puas, lucu sekali ekspresi adiknya. Datar, tapi juga menyiratkan sebuah kejujuran, entahlah. Cowok itu mulai mengambil posisi nyaman untuk membaca. Sementara Laven bergegas munuju lemari pakaiannya, bermaksud untuk mandi sebelum hawa semakin dingin.
"Kalau keringetan nggak usah mandi."
"Aku ngerasain dingin."
"Ya udah. Jangan lama-lama." Pesan Nanta menoleh sejenak ke arah yang lebih muda. Setelah melihat anggukan dari sosoknya, barulah Nanta kembali fokus pada bacaannya.
Menepati ucapannya, Laven keluar dengan wajah yang lebih segar tak lama kemudian. Nanta sendiri kini menutup bukunya, berakhir mengambil sisir, lantas menghampiri sang adik dan mendudukannya pada kursi. Tangan cowok itu pun menyisir rambut yang lebih muda dengan serius. Laven juga pasrah dengan tatanan rambut buatan Nanta.
"Meet-nya tadi lama?"
"Lumayan." Balas Nanta mengembalikan sisir ke tempat semula. "Dek, kakak pengen mie instan. Sore gini tanggung mau tiduran."
"Nggak sering 'kan makan mie?"
"Nggak, ntar disemprot Oma. Kayak kamu nggak tahu aja gimana Oma. Buatin yang spesial ya?"
Laven mengangguk sekali, lantas langsung bergegas melangkah ke dapur yang tak lama kemudian disusul yang lebih tua.
"Kuah aja, kayaknya lebih enak. Satu ya! Kamu jangan makan mie dulu. Mau kakak order-in makanan aja?"
"Nanti aja. Bentar lagi hujan."
"Oke." Balas Nanta duduk memainkan ponselnya. Seperti yang sudah-sudah, tangan cekatan sosoknya mulai memasak air dalam panci. Saat mendidih, setengah air yang mendidih itu sosoknya gunakan untuk memasak mie dalam wadah lain, lantas ditiriskan. Bersamaan dengan itu satu telur mulai Laven pecahkan, masuk ke dalam panci di atas kompor. Lantas, barulah cowok itu memasukkan irisan tipis bawang merah dan bawang putih, potongan satu buah cabai, irisan daun bawang, dan beberapa helai seledri yang hanya dipotong menjadi dua bagian. Selesai, kompor ia matikan dan barulah mie yang ia tiriskan di wadah lain tadi ia masukkan dalam mangkuk yang kemudian diguyur kuah dalam panci.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lavenario
General FictionTak ada yang istimewa dari kisahnya. Sebut saja ia terlalu pasrah menerima. Kalau ada kata 'berjuang,' maka perjuangannya hanyalah tentang bagaimana caranya bertahan. Emosinya selalu ia pendam. Kalau pun tidak, maka orang lain hanya boleh melihat em...