Laven memang sudah terbiasa menjalani sebagian besar waktu dalam hidupnya sendirian, tetapi ia juga jarang sekali merasakan kesepian. Sunyi, sepi, senyap, hening, atau apalah sinonim dari kata-kata barusan justru menjadi momen favoritnya untuk menyelami makna kehidupan.
Namun, lagi-lagi kali ini ia merasa sunyi yang ada tengah memusuhinya. Sepi yang ia rasakan lagi-lagi mengejeknya. Senyap yang tercipta tengah menghinanya. Selalu seperti itu tiap kali rumah baru saja terasa hidup sebab banyaknya percakapan yang mengisi keheningan yang biasanya tercipta; ruangan terjamah di setiap sisinya seperti rumah pada umumnya. Iya, hal seperti itu tak akan lama. Tepat saat bunda dan kakaknya beranjak kembali, semua otomatis akan kembali seperti semula.
Laven hanya akan keluar kamar untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan penting lainnya. Sisanya ia hanya akan mendekam di kamar. Pekerjaan rumah tangga? Tidak ada yang menyuruhnya. Namun, Laven cukup tahu diri untuk tidak membebankan semuanya pada ayah. Sebisa mungkin, Laven akan mendahului, menyelesaikan pekerjaan rumah sebelum ayahnya melakukannya. Semua tidak otomatis terjadi begitu saja. Pekerjaan yang ia lakukan sewaktu masih anak TK cukup dengan merapikan dan menjaga kebersihan kamarnya. Semakin beranjak usianya, semakin paham dan mampu akal dan tubuhnya, barulah Laven mulai belajar untuk melakukan pekerjaan lainnya.
"Ayah akan beli makan malam di luar." Suara Rendra menghentikan aksi putranya yang terdiam menatap bahan makanan yang tersedia di kulkas; berpikir menu apa yang akan ia masak sore ini.
Laven mengangguk, menutup kembali pintu kulkas yang ia buka. Cowok itu melangkah, hendak kembali ke kamarnya. Namun, sebelum itu suara ayah menginterupsi langkahnya.
Laven menatap lamat wajah ayah, menunggu ayahnya itu berbicara. Rendra menghela nafas pelan sebelum berujar. "Kalau kamu butuh kontak mama, ayah bisa memberikannya."
Laven menggeleng pelan. Itu cukup bukan untuk menjawab pertanyaan ayahnya barusan? Sekarang, Laven jadi merasa bahwa ia juga harus berhati-hati saat berbicara dengan bunda.
"Maaf, Ayah. Boleh aku nanya?"
Rendra mengangguk sekali setelah tiga detik hanya diam, terhitung sejak suara putranya lenyap. Laven pun mengambil jeda. Kalimat yang akan ia keluarkan saat ini terbilang cukup berani, sangat malah.
"Menurut ayah, apa selama ini mama butuh aku?"
Rendra hanya diam meskipun ia tahu pasti apa jawabannya. Sekarang, putranya itu justru tersenyum tipis menatapnya. Tapi, Rendra yakin senyum itu bukan untuknya. Senyum itu ironi dari kata bahagia.
"No, right? Mom's always fine without me. Sorry but, don't talk anything about her. I'll did it too. Aku nanya sama Bunda buat hal lain, Yah. Tapi, semua udah cukup."
Suasana mendadak hening. Rendra tak pernah tahu arti diamnya sang putra, pun ia pikir putranya juga merasakan hal yang sama. Namun, pernyataan, permintaan, dan pertanyaan yang ia dengar barusan memukulnya telak. Bahwa Rendra memang tak memahami keinginan Laven selama ini.
Rendra pikir Laven masih menginginkan hal yang sama seperti saat pertanyaan seputar wanita itu selalu terucap dari bibir tipis putranya. Namun, Rendra sepertinya tak sadar jika bahkan ucapan seperti itu sudah padam terakhir kali tersuarakan saat putranya menginjak bangku sekolah dasar. Rendra tak pernah meminta putranya berhenti. Sampai sekarang Rendra pun masih tak tahu alasan putranya tak pernah menyuarakan lagi pertanyaan dengan inti yang sama itu.
"Maaf, Yah, kalau ucapanku barusan keterlaluan."
"Selama ini aku nggak tau banyak. Soal masalah itu, aku cuma tau singkatnya. Tapi, dari sikap mama yang nggak mau tau apapun tentang aku, dan sikap ayah yang sampai saat ini masih mau ngerawat aku; sedikit banyak aku jadi tau aku harus bersikap gimana. Salah ayah sama mama, bukan aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lavenario
Fiksi UmumTak ada yang istimewa dari kisahnya. Sebut saja ia terlalu pasrah menerima. Kalau ada kata 'berjuang,' maka perjuangannya hanyalah tentang bagaimana caranya bertahan. Emosinya selalu ia pendam. Kalau pun tidak, maka orang lain hanya boleh melihat em...