Bagian 40

332 32 9
                                    

Awalnya, Disha sudah berniat akan menceritakan apapun yang menjadi kebingungan sang putra. Tak ada gunanya lagi menyembunyikan sebab Dian sang kakak justru dengan lancang mendahuluinya. Andai Disha tahu seperti ini kejadiannya, ia tak akan segan memilih lebih dulu menceritakan. Setidaknya hal yang ia ceritakan sesuai dengan realita, disertai bahasa yang sudah terpilah untuk sang putra.

Ya, seharusnya keinginannya untuk meluruskan dapat terwujud jika tak mendapat penolakan. Sebab, setelah meminta pengertian pada sang putra bahwa ia akan berganti berbicara, Laven menggeleng pelan.

Aku mau istirahat, Ma.

Maka setelah mendengar kalimat seperti itu dirinya bisa apa selain mengiyakan. Dan melihat sosoknya yang benar-benar tertidur setidaknya membuat Disha sedikit lebih tenang. Tak ada lagi air mata dan isak tangis yang ia lihat. Meski ia yakin jika kelopak mata sang putra akan membengkak.

"Mbak beli timun kalau mau dipake."

Mengangguk pelan, Disha meraih potongan mentimun yang tergeletak di meja. Sudah ada segelas air es dalam pastik bening di dekatnya. Maka dengan cekatan Disha menyiapkan mentimun dingin usai mencuci tangan.

"Minta tolong potongin Ibu kantin sekalian tadi." Lita menjelaskan bahkan sebelum menerima pertanyaan. Hubungannya dengan Disha yang dulunya sangat baik, kemudian memburuk, dan menggantung, ditambah posisinya yang seakan menyulitkan membuat Lita juga sedikit berhati-hati dalam bersikap.

"Makasih. Mbak silahkan kalau mau pulang. Aku tadi belum sempat nemuin Ibu." Disha berucap sebab merasa tak enak, terutama pada Ibu di rumah.

"Nanti habis ashar sekalian. Mbak udah bilang ke Ibu tadi."

Hening. Disha sibuk berkutat menempel dan mengganti irisan mentimun pada kelopak mata sosoknya guna mengurangi rasa pedih dan efek bengkak yang mungkin dapat terjadi. Sementara itu, Lita duduk memperhatikan dari sofa yang tak berjarak jauh dari bed.

"Demamnya udah mendingan 'kan?"

Tanpa menoleh, Disha mengangguk sekali. "Tapi masih belum reda."

Keheningan kembali masuk tanpa mengetuk. Disha kini sibuk menyamankan tidur sosoknya, mengelus pelan surai sang putra yang masih terasa lembut meskipun sekilas terlihat lepek efek berbaring.

Air matanya jatuh tiba-tiba sebab segala pemikirannya yang kembali riuh. Tentang bagaimana bisa ia tega meninggalkan sosok mungil yang kini menjelma menjadi sebesar sekarang. Tentang segala hal sulit yang ia yakin sudah banyak dilalui putra biologisnya. Tentang segala rasa sakit yang sudah bantak diterima sang putra. Tentang kemungkinan bahwa ia masih akan sulit untuk bisa membahagiakan sang putra.

"Mbak tau kamu bisa lebih tenang. Kalau nggak ada salah satu yang nurunin tension, pasti ada yang kelepasan. Semua bisa dibicarain baik-baik. Rendra nggak sekeras dulu, Sha."

Lita mendekat usai sadar jika bahu yang lebih muda bergetar karena terisak. Tangannya kini terulur memijit bahu kanan Disha dengan satu tangannya.

Butuh beberapa menit bagi Disha untuk memberhentikan tangisnya. "Mau dibicarain baik-baik, hasilnya sama. Mas Rendra nggak akan mau lepasin Laven."

Lita menghela nafas. Manik matanya mengamati sosok yang terbaring tenang, memastikan bahwa sosoknya benar-benar tidur bukan hanya sekadar memejamkan mata.

"Mbak nggak bermaksud. Tapi, biar gimanapun, Rendra yang sedari kecil dampingin Laven. Meskipun Rendra nggak pernah terang-terangan bicara, Mbak dan orang rumah tau persis gimana sayangnya dia sama Laven. Lebih mudahnya, gimana perasaan kamu kalau sahabat kamu dateng dan mau ambil Nalendra?"

Disha terisak, menyadari kesalahannya sekaligus ketidakberdayaannya. Tapi, entah kenapa rasa egois itu masih menyuruhnya untuk mengambil alih sang putra. Meski ia tahu bahwa semua hanya soal kesalahpahaman.

LavenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang