Bagian 1

2.6K 111 8
                                    

Langit tengah berduka; sejadi-jadinya menumpahkan seluruh pasokan air mata yang ia punya. Bumi dengan tulus hati menampung air mata temannya. Meski bahkan saking melimpahnya, genangan demi genangan tercetak di permukaannya yang tak rata. Tak hanya diam, akar-akar tanaman turut dikerahkan untuk menyeka air mata, mengurangi volume dalam genangan yang masih tersisa.

Pada akhirnya, semua akan tiba di titik lelahnya. Pun dengan langit yang kini tangisnya sudah mulai mereda. Meski begitu, wajah sayu nan muram itu masih terdeteksi oleh jangkauan indera; membuat langit menjelang petang nampak lebih gelap dari biasanya.

Tunggu! Langit belum lelah. Emosi sebelumnya telah diambil alih emosi lainnya. Cahaya yang berkelebat dengan cepat menjadi sebuah aba-aba, sebelum gemuruh suaranya terdengar menggelegar luar biasa memekakkan telinga.

Senyum itu justru tercetak di wajah elok Lavenario Ravanka. Guntur yang barusan ia dengar seolah meledeknya. Langit mampu meledakkan emosinya lewat mulutnya yang menggelegar berbicara. Tapi, Laven tak pernah mampu melakukannya. Ia hanya bicara seperlunya, dengan suara yang sekiranya orang lain mampu mendengarnya. Seolah takut pita suaranya akan rusak tak dapat kembali berkerja jika ia berteriak sekali saja.

Detak jantungnya berpacu lebih cepat dan kuat dari sebelumnya. Meski sedari kecil, entah di usia berapa ia mulai tidur sendirian di kamarnya; menikmati runtutan suara halilintar yang pasti ada di kala musim penghujan tiba; ketakutannya pada gelegar halilintar tak bisa luruh. Mungkin bertahun-tahun beradaptasi hanya mampu meringankan responsnya saja. Sudah tak ada keringat dingin yang menggerayangi beberapa beberapa bagian tubuhnya, kecemasaan yang berlebihan itu tak lagi ia rasa.

Sepasang manik mata yang secara fisik tajam, tetapi selalu menyorot teduh itu terpaku pada sosok lain dengan mantel dan payung yang ia pegang erat pada gagangnya. Arah langkah sosok lain itu nampak jelas berjalan terburu-buru menghampiri sosok yang tengah  menyorotnya teduh.

"Sayang, udah nunggu lama ya?"

Sosoknya menggeleng, tersenyum simpul. Ia pikir kakaknya, Devananda Jayananta,  yang tak lain adalah putra saudara kembar ayahnya akan tiba malam nanti. Namun, ternyata perkiraannya salah.

Nanta kakaknya itu cowok, tapi Laven juga tak pernah memprotes panggilan 'sayang' untuknya yang mungkin sering membuat orang lain salah sangka.

Di dunia ini, selama empat belas tahun ia hidup, hanya ada dua orang yang memanggilnya dengan embel-embel sayang; yang secara terang-terangan  menunjukkan dan mengungkapkan rasa sayangnya. Sosoknya tak lain adalah Lita dan Nanta kakaknya, ibu dan anak yang kompak selalu menghujaninya dengan perhatian dan rasa sayang.

Bukan berarti ayahnya tidak. Tak mungkin ayahnya mau membesarkannya hingga tumbuh berkembang seperti sekarang jika tak ada rasa peduli dan sayang untuknya. Ayahnya hanya tak pernah melisankannya, tapi Laven percaya bahwa ayah menyayanginya. Oma dan almarhum opa juga ia anggap seperti ayahnya.

Kalau orang yang membencinya? Bolehkan ia menyebut jika Tante Dian yang tak lain kakak kandung mamanya itu membencinya? Sosok yang secara terang-terangan memang menudingkan kalimat kebencian untuknya. Tapi, kalau yang masih menjadi tanda tanya untuknya, maka ia akan menjawab bahwa itu mama dan almarhumah neneknya. Ia tak tahu menahu emosi seperti apa yang diarahkan dua perempuan itu untuknya.

"Ck, ini apa lagi. Cardigan tipis gini dipake. Kamu beneran gak punya yang lebih tebel? Jaket kek, swetear kek, terserah apapun itu yang penting fungsinya. Kalau perlu kamu geret sekalian selimut yang ada di kamar. Tau musim hujan juga ngeyel kalau dibilangin."

Nanta sudah mengomel, meski pada dasarnya ia hanya melakukan hal demikian untuk satu manusia di bumi ini. Laven hanya pasrah menerima, tak mau membela diri karena memang ia yang salah.

LavenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang