Sungguh, kejadian sore ini membuat sosoknya tak bisa berkata apa-apa. Bahkan saat Panca menanyainya akan mampir kemana Laven hanya diam. Sosoknya hanya bisa melayangkan tatapannya yang mungkin terlihat tajam padahal kala itu ia hanya sedang menahan kelopak matanya untuk tetap terbuka lebar; menahan diri untuk tak berkedip agar air matanya tetap tertahan. Panca yang mengerti juga tak bertanya lebih lanjut, mengemudikan motornya menuju rumah yang terbilang sering ia kunjungi dibandingkan rumah temannya yang lain.
"Gue bukannya mau tau. Tapi, gue beneran bingung, Ven."
Laven tak langsung menjawab. Sosoknya sibuk mengurus dirinya sendiri, masuk dalam kamarnya dan membersihkan diri. Di atas siraman air itu, wajah eloknya menengadah ke atas, membuat air mata yang keluar itu langsung terhapus oleh siraman air yang turut mengguyur tubuhnya. Baru saat suasana hatinya berbicara bahwa hawa negatifnya sudah mereda, sosoknya keluar. Nampak Panca yang tetap diam duduk di sofa depan.
"Sorry. Lain kali, lo bisa langsung bersih-bersih, minum, makan. Terserah, karena ayah juga udah kenal dan gue juga nggak bakal bawa orang ke rumah kalau gue sendiri nggak percaya."
"Gue mau langsung pulang. Eh, makanannya gue tinggal ya?"
Laven menggeleng. Bukan sebab ia menolak pemberian. Hanya saja, ia sudah punya lauk dan nasi sisa tadi pagi. Belum lagi dengan pesanan martabak manisnya. Lagipula, Panca sendiri yang mengatakan bahwa ia tengah ingin makan masakan tradisional Jogja. Laven mengangguk ketika Panca menawarkan sebab ia juga menyukainya dengan syarat dibawa pulang saja. Namun, siapa sangka jika resto yang menjadi tempat favorit temannya itu adalah salah satu resto milik Tante Dian.
"Ya udahlah, gue pulang habis makan."
"Mandi sekalian," ucap sosoknya lantas mengambil lauk sekaligus nasi yang Panca beli. Cowok itu berlalu lebih dulu, membawanya ke dapur. Sementara Panca juga ikut menyusul meninggalkan ruangan depan, berpindah ke kamar tamu, lantas bergegas untuk membersihkan diri.
"Panca, gue harap lo lupain hal yang tadi."
"Gue aja nggak tau apa-apa. Tapi, Ven. Umur lo sama gue selisih setahun lebih. Gue sama Bang Nalen yang bedanya nggak genap setahun aja manggil dia 'bang' loh."
Ucapan Panca barusan Laven anggap sebagai candaan yang spontan diucapkan. Mungkin karena momennya yang pas sekaligus untuk membuatnya tenang. Mudahnya, memberi pemahaman bahwa Panca paham dengan apa yang dirinya maksud, tak akan membahasnya lebih kerena celetukkan utamanya saja sudah tak diberi respons.
"Dan semua temen seangkatan, gue panggil bang?”
Panca menggeleng. Senyumnya ia sembunyikan mendapati celetukkan konyolnya ditanggapi. Ingin mengubah suasana hati sosoknya, tapi sepertinya justru suasana hatinya sendiri yang berubah. Laven tetaplah Laven, yang nampak sekali menunjukkan keengganannya jika obrolan sudah menjurus ke hal-hal tak penting.
”Nggak semua temen lo cowok. Lagian, gue 'kan spesial, emang telat hampir setahun masuk TK."
"Lo bukan satu-satunya."
Panca pada akhirnya diam. Cowok itu mulai menata nasi dan lauk di piringnya, mengikuti Laven yang kini fokus makan dalam diam. Baginya, teman yang sayangnya dari segi umur lebih cocok menjadi adiknya itu terlalu rumit untuk dipahami. Lebih ke, anaknya memang menjaga privasi dan enggan berbagi.
"Pulang habis magrib aja, nanggung."
"Hm. Bentar lagi adzan." Panca bangkit, membawa bekas makannya ke dapur, menaruhnya tepat di bak cuci. Kran itu baru akan ia nyalakan, tapi suara si tuan rumah yang menyuruhnya minggir mau tak mau ia turuti.
"Gue juga biasa nyuci di rumah."
"Dhito bilang kemarin lo cedera?" Laven mengalihkan topik, sekaligus karena teringat dengan hal itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lavenario
General FictionTak ada yang istimewa dari kisahnya. Sebut saja ia terlalu pasrah menerima. Kalau ada kata 'berjuang,' maka perjuangannya hanyalah tentang bagaimana caranya bertahan. Emosinya selalu ia pendam. Kalau pun tidak, maka orang lain hanya boleh melihat em...