Bantu cek typo ya!
***
Kafe di dekat sekolah tidaklah besar, tapi tidak bisa juga dibilang kafe sederhana untuk tongkrongan remaja. Ada berbagai fasilitas yang akan memanjakan para pengunjung, seperti ruang privasi, bangku indoor, mupun outdoor. Desain interior dan eksteriornya pun terkesan klasik dan elegan, dengan harga menu dan sewa ruang yang beragam, tergantung kebutuhan dan pemesanan. Kebanyakan remaja seperti Laven mampir untuk kencan bagi yang punya pacar. Banyak pula anak kuliahan yang mampir untuk menumpang akses internet dengan dalih memesan minum dengan harga paling terjangkau. Tentu boleh saja, tidak ada yang melarang.
Sejujurnya, Laven tak nyaman jika harus berada di tempat umum seperti sekarang, terlebih untuk belajar. Namun, harus bagaimana lagi? Itu Satya yang mengusulkan, disetujui kakak kelasnya, lantas jika menolak, apa yang akan ia usulkan? Di rumahnya? Tak masalah jika kakak kelasnya itu bukan kakak tirinya. Kalau ia sendiri tak berkenan rumah ayah digunakan, apa etis jika ia mengusulkan agar di rumah Satya saja?
Dan, mood Laven semakin berubah saat melihat jika meja yang akan ia tuju saat ini dihuni Lendra seorang diri. Padahal, ia sengaja tiba sedikit terlambat untuk menghindari perbincangan yang mungkin tercipta jika Satya tidak ada. Senyum itu, kenapa bisa ia tak menyukainya? Padahal ketulusan dan keramahan Lendra adalah hal yang dulunya ia kagumi. Membuang nafas perlahan, Laven berusaha menghempas rasa tak sukanya pada orang tak bersalah seperti Lendra.
"Dianterin siapa, Dek? Ayah kamu?" Suara lembut Lendra menyapa telinganya, bebalut senyum mewah yang memancarkan aura ketulusan.
"Kak Nanta." Balas Laven tanpa ingin berbasa-basi menjelaskan dimana ayahnya kini berada. Tentang Nanta, ia tahu persis jika kakak kelasnya itu tak tahu. Semua orang di kehidupannya pasti juga sudah diceritakan mama. Itu dugaannya. Melupakan hal itu, sosoknya segera mengambil posisi duduk, menyibukkan diri dengan mengeluarkan buku dan alat tulis dari tasnya.
"Nanta?" Kata yang bernada menggantung itu jelas menyiratkan sebuah tanya.
"Nggak mungkin nggak tau."
Tersenyum tipis, Lendra mengangguk. "Iya, kakak tau, kok. Kamu mau minum apa?"
Laven menggeleng, sebab niatnya hanya satu, menyelesaikan tanggung jawabnya. Perkara minum itu hal yang terakhir. Lagipula jikapun haus ia selalu membawa air minum. Kalau bukan karena sudah menumpang tempat pun sosoknya juga akan enggan untuk memesan.
"Eumm, jus alpukat mau?"
"Terserah." Balas Laven sebagai sinyal bahwa ia tak menerima pertanyaan seputar minuman. Lendra masih tenang, berusaha paham dan menyadari posisi nya. Satu hal yang sangat ia pahami bahwa keberadaanya belum diterima. Bahkan, sejak peristiwa tak menyenangkan itu, Lendra tak pernah mendengar sosoknya kembali memanggilnya dengan embel-embel 'kak.' Adiknya itu juga mengindari menyebut namanya. Antara sedang bingung dan mungkin tak enak jika harus menyamakan panggilannya dengan yang lain, sebab di awal semuanya baik-baik saja.
"Sebentar ya."
Perasaan tak nyaman terlihat dari bagaimana jari-jari tangannya saling mengepal bertautan di bawah meja. Rasanya sangat jahat, menyakiti yang lain hanya karena alasan klise yang ia rasakan. Laven akui ia iri, tapi bukan itu yang utama. Ia lebih merasa bahwa dirinya benar-benar tak ada harganya di mata mama. Tak salahkan dirinya? Anak kandung yang lahir dari rahim mama nyatanya tak sebanding dengan anak yang lahir dari wanita lain. Parahnya, dalam waktu yang sesingkat ini ia tahu bahwa mama sangat menjaga perasaan anak itu dan abai dengan perasaan darah dagingnya sendiri. Pada intinya, dibandingkan iri, Laven lebih merasa bahwa melihat Lendra membuatnya terluka sebab akan jelas bahwa bayangannya tak ada apa-apanya dibanding Lendra di depan kaca yang kaca itu adalah mama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lavenario
General FictionTak ada yang istimewa dari kisahnya. Sebut saja ia terlalu pasrah menerima. Kalau ada kata 'berjuang,' maka perjuangannya hanyalah tentang bagaimana caranya bertahan. Emosinya selalu ia pendam. Kalau pun tidak, maka orang lain hanya boleh melihat em...