Sore itu, langit cerah bertundung sutra lembayung. Suasana tak hangat, tak pula panas; nyaman menenangkan. Hembusan angin lembut membelai segala hal yang terpajang dalam lintasannya. Riuh paling kentara terdengar dari lapangan di sekolah. Laven tak tahu persis ramainya lapangan futsal di gedung belakang sebab kelasnya ada di gedung depan. Namun, cowok itu menduga jika lapangan futsal tak kalah ramai dengan lapangan voli dan basket yang ada di bagian depan.
Tidak, Laven pulang sampai petang bukan sebab ada estrakurikuler, klub, organisasi ataupun memang jam pulang nya demikian. Cowok itu sengaja pulang akhir dan mendekam di perpustakaan sampai gedung itu akhirnya ditutup. Alasan lainnya adalah cowok itu sengaja menyamakan jam pulangnya dengan jam pulang ayah.
"Loh, kamu belum pulang, Dek?"
Laven menggeleng. Entah sudah kali keberapa dalam sehari ini ia bertemu, berpapasan, atau sekadar disapa kakak kelasnya yang notabene murid baru.
"Wanna together? Tapi, kakak mau ambil barang yang ketinggalan dulu di kelas."
"Next time?" Laven lagi-lagi merasa tak enak mengatakan hal yang sama untuk kedua kalinya. Namun, ayah tadi sudah mengatakan akan menjemputnya langsung di perjalanan dari kantor, dan itu di jam-jam sekarang ini.
"Udah ada jemputan ya?"
Laven mengangguk sekali, membuat Lendra yang paham berlalu memasuki gerbang. Cukup lama Laven menunggu, cukup lama juga Lendra masuk entah mengambil apa.
Ayah
 ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄
Maaf, ayah pulang malam.
Ada bbrp masalah di kantor.17.03
Laven tak masalah jika harus pulang layaknya bagaimana ia sering pulang seperti biasanya. Namun, tak bisakah sekali saja pesan seperti ini tak dikirim mendadak? Atau mungkin ia saja yang tak mengerti bagaimana kompleks nya pekerjaan ayah.
"Mau ditemenin nunggu?"
Laven menoleh ke sumber suara. Nampak Lendra yang berjalan ke arahnya membawa sebuah map hitam di tangan kanannya.
"Duluan aja."
"Ini udah hampir magrib, loh. Yang pada di dalam juga tinggal beberapa. Bentar lagi gerbang ditutup."
Laven melayangkan pandangannya ke lapangan basket yang masih sedikit nampak dari luar. Sudah cukup sepi. Ia sendiri juga menyaksikan jika jemputan yang menepi sudah banyak yang pergi, pun dengan beberapa siswa yang berlalu lalang dengan kendaraannya dari parkiran.
"Kamu dijemput siapa? Udah di jalan?"
Lendra berani bertanya sebab langit semakin gelap. Sorot mata sosok di hadapannya juga tak percaya diri seperti sebelumnya.
"Aku baru mau order." Ucap sosoknya menatap layar ponselnya. Namun, belum sampai jarinya selesai beroperasi, tangan Lendra terulur menggapai lengan kanannya.
"Laven, pulang sama kakak ya? Mau magrib gini kadang susah." Suara lembut Lendra mengalun, masih berusaha. Cowok itu berusaha menepis rasa ingin tahunya akan jemputan yang Laven katakan.
Laven terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. Sosok yang lebih tua tersenyum tenang, menarik lembut lengannya untuk ikut masuk.
Di kursi kemudi, seorang pria paruh baya dengan begitu ramahnya mendahului menyapa. Meski belum terasa luwes, Laven berusaha membaur, menjawab pertanyaan yang ditujukan untuknya dan ikut tersenyum kala supir yang akrab dipanggil 'pakde' itu melempar guyonan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lavenario
General FictionTak ada yang istimewa dari kisahnya. Sebut saja ia terlalu pasrah menerima. Kalau ada kata 'berjuang,' maka perjuangannya hanyalah tentang bagaimana caranya bertahan. Emosinya selalu ia pendam. Kalau pun tidak, maka orang lain hanya boleh melihat em...