Bagian 36

290 34 8
                                    

Dua jarum jam dinding berbeda ukuran panjang itu berkolaborasi, mengarah pada angka yang berbeda, membentuk sudut  120 derajat. Pukul 20.20, sudah melampaui jam maksimal pulang malam yang Rendra tetapkan untuk sang putra.

Bohong jika dalam diamnya yang seolah terfokus pada pekerjaannya Rendra tak gusar. Sudah lebih dari dua puluh menit, bukan hanya lima sampai sepuluh menit yang mungkin bisa ditolerir keterlambatannya. Lagipula, ini kali pertama sang putra pulang malam melebihi aturan yang sudah ditetapkan. Parahnya, ponsel anak sematawayangnya itu tak bisa dihubungi, menambah kegusaran dan cemas yang melanda. Perihal teman sang putra, Rendra hanya mempunyai nomor Panca.  Lagi, sebuah ketidakberuntungan karena Panca saja tidak tahu menahu di mana putranya saat ini.

Belum lagi pertanyaan dari ibu dan kembarannya yang baru datang dan  menanyakan keberadaan sang putra benar-benar menekannya, membuat pria itu harus menjawabnya dengan kebohongan untuk menenangkan.

"Apa Laven di sana?"

"Laven belum di rumah?! Tunggu! Mas ini bicara apa? Kalaupun Laven di sini dan mau nginep, aku pasti bilang ke Mas."

Menarik napas panjang, Rendra menjauhkan ponsel itu dari telinganya. Terdengar ledakan emosi berisi kekesalan dan kemarahan dari Disha sang mantan istri.

"Nomornya tidak bisa dihubungi. Saya coba telfon kamu karena Laven pamit mau pergi sama Nalendra."

Penjelasan panjang Ladisha secara terang-terangan benar-benar membuat kegelisahan Rendra semakin menjadi. Oleh sebab itu, begitu sambungan terputus  ia segera menyambar kunci mobilnya untuk beraksi.

Tepat sekali, begitu pintu utama itu ia buka, putra yang tengah ia cari itu tengah berdiri dengan kepala tertunduk di hadapannya. Keberadaan makser hitam itu menutupi setengah wajah bagian bawah sang putra, ditambah poni yang menutupi dahi dan sebagian alis rapi sosoknya membuat Rendra tak bisa melihat jelas air muka sang putra saat ini.

"Darimana?" Nada bicara Rendra masihlah ramah di telinga.

"Dari rumah temen. Boleh aku istirahat?" Lirih sosoknya mulai mendongak, sebisa mungkin ia usahakan mampu memandang wajah sang ayah.

Namun, sepertinya Rendra tak bisa membiarkan semua berlalu begitu saja. Lagipula, orang tua mana yang bisa semudah itu melenyapkan keingintahuannya atas kecemasan yang ia rasa menghilang begitu saja? Terlebih, dari jawaban dan suara sang putra, Rendra meyakini jika ada kejanggalan yang terjadi. Bahkan, kata maaf itu yang biasanya tak asing ia dengar kala sang putra membuat kesalahan tak tertangkap indra pendengaraannya untuk saat ini.

"Ada yang mau kamu jelasin ke ayah?"

Jeda.

"Aku harus nunggu temen buat anterin  pulang. Hpku mati kehabisan daya."

"Maaf," lirih sosoknya sebisa mungkin mengalihkan fokus pandangnya ke arah lain. Ada sebongkah emosi yang tengah ia tahan, yang tak boleh meledak saat ini, yang harus ia tahan hingga esok pagi. Begitu setidaknya.

"Ayah khawatir, Oma kamu juga nanyain. Lain kali pastiin isi daya. "

Laven hanya bisa mengangguk. Begitu ayah memberi jalan masuk, cowok itu langsung bergegas melangkah melesak semakin dalam. Barulah setelah kalimat yang disampaikan sang ayah ia pahami, sosoknya berujar, "Aku udah makan, mau langsung tidur," ujarnya pelan yang hanya direspons dengan keterdiaman.

"Ayah udah makan?" Imbuhnya merasa ada yang salah dengan ucapannya yang sebelumnya. Anggukan sekali itulah yang Laven dapatkan. Maka, tak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu, sosoknya langsung melangkah pasti menuju kamarnya.

Laven sudah pulang.

***

Pintu itu terkunci sempurna bersamaan dengan runtuhnya pertahanan sosoknya. Air mata itu jelas terasa keluar dari kediamannya, membasahi area pipi yang masih tertutupi. Itu adalah lolosan air mata yang entah keberapa di hari ini, tepat setelah pertemuannya dengan Dian tantenya sendiri.

LavenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang