Alarm yang Laven pasang seperti biasanya nyatanya tak memberi efek seperti biasanya. Tapi, kejadian seperti ini juga bukan hanya sekali. Jika ia terlalu lelah fisik, biasanya ia akan tidur sampai pagi tanpa bisa diinterupsi. Beda lagi jika lelah hati dan pikiran yang mendominasi, sebab tidurnya justru akan terus terinterupsi.
Di jam istirahat pertama, Laven memilih menepi di perpustakaan lantai dua bagian belakang. Cukup sepi dari jamahan orang-orang, pun hening suasananya. Bahkan, suara lembar kertas buku yang dibuka pun akan terdengar keras jika dibuka tak pakai perasaan. Ini hal yang tak biasa, tapi cowok itu juga bisa dihitung beberapakali melakukannya: tidur membenamkan kepalanya pada meja dengan kardigan miliknya yang ia jadikan bantal salah satu pipinya. Rasanya waktu memang terlampau cepat; kantuknya pun tak sepenuhnya hilang, tapi beruntung berkurang. Berlomba dengan bunyi bel masuk, sosoknya menuruni tangga. Kaki jenjangnya melangkah ke toilet untuk membasuh muka sebelum kembali ke kelasnya.
"Lo udah mendingan?"
Panca yang baru selesai membasuh wajahnya mengangguk. "Thanks sarapannya."
"Lo habisin 'kan? Sorry, gue cuma bisa nitip."
Singkatnya, Panca memang sudah absen dari acara apel pagi. Berangkat tadi, wajah cowok itu sudah pucat penuh keringat dingin. Alhasil, dibawalah Panca ke UKS oleh Laven sendiri. Meski begitu, ia tak bisa berlama-lama sebab jam pertama ada kuis dengan guru yang cukup ketat aturan.
"Pulang sekolah lo ada acara?"
Laven menggeleng. "Gue langsung pulang."
"Gue jadi mau ngobrol, kalau lo mau." Tukas Panca berlalu pergi lebih dulu. Laven mengangguk, meski temannya itu juga sudah berbalik berjalan memunggunginya.
"Laven? Oh iya, cuma mau bilang kalau beberapa udah kakak siapin. Kamu ada waktu kapan?" Lendra yang entah darimana hingga berada di kawasan gedung kelas sepuluh menyapa. Cowok itu tersenyum simpul, nampak meneduhkan dengan parasnya yang membuat gelar pribadi yang lembut cocok melekat untuknya.
Sosok yang ditunggu jawabannya berpikir sejenak. Sesungguhnya jika memang harus mengambil sampai mampir ke rumah, cowok itu merasa enggan. Namun, rasanya memang kurang etis jika ia menolak. Dugaannya, nantinya akan ada banyak runtutan pertanyaan yang mengarah padanya, pun rasa tak enak itu juga nanti akan membebaninya sendiri.
"Mungkin lusa bisa."
"Nanti ada acara ya?" Lendra bertanya pelan, sedang Laven mengiyakan. Baru saja Panca mengajaknya mengobrol bukan?
"Oke.. Lusa ya? Besok pulang sekolah langsung aja, nggak usah minta jemput ya."
"Thanks, Kak."
"It's okay. Kakak seneng kalau beneran bisa bantu. Duluan ya! Gurumu juga udah masuk tuh, Dek."
Laven mengangguk, pandangannya kini mengarah pada kelasnya. Seorang guru yang tak lain merupakan salah satu guru pembimbingnya sudah memasuki kelas. Tak perlu berpikir panjang sosoknya langsung menyusul masuk.
"Lo darimana?" Lemparan pertanyaan dari Dhito menyambutnya masuk. Laven melirik. Namun, sosok itu tak menjawab sebelum ia duduk di kursinya. "Dari perpus."
"Gue ke perpus nggak nemu."
"Perpus atas. Kenapa emang?"
"Mau ngajak lo ke UKS, taunya si Panca dah balik sendiri."
Arah pandang sosok bermanik mata coklat gelap yang nyaris terlihat hitam itu berotasi, melirikkan pandangan mencari seseorang yang dimaksud Dhito. Namun, tak ia temui meski pandangannya sudah menyapu seisi kelas.
"Panca balik UKS lagi?"
"Anaknya balik kelas cuma ngambil tas. Mau ngurus surat izin balik katanya." Balas Dhito sembari mengeluarkan buku dan alat tulis miliknya dari laci meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lavenario
General FictionTak ada yang istimewa dari kisahnya. Sebut saja ia terlalu pasrah menerima. Kalau ada kata 'berjuang,' maka perjuangannya hanyalah tentang bagaimana caranya bertahan. Emosinya selalu ia pendam. Kalau pun tidak, maka orang lain hanya boleh melihat em...