Hampir 3k kata. Gamau tanggung jawab kalau bikin gumoh😆
***
Laven sudah cukup mempersiapkan diri jika makan malam yang dimaksud ayah itu dilaksanakan di luar. Entah itu warung, restoran, rumah makan, angkringan, dan apapun itu asalkan bukan di rumah ayah seperti yang justru terjadi sekarang. Melihat ada seorang yang memakai dapur rumah selain bunda dan mama rasanya sungguh membuatnya resah. Mama saja baru Laven lihat sekali menggunakan dapur rumah. Dan sekarang atau bahkan seterusnya justru orang lain yang akan menggantikannya.
Terserah jika ia berlebihan. Tapi, apa yang Laven sekarang juga beralasan. Kekhawatiran, kecemasan, dan ketakutan itu nyatanya kembali datang menjarignya. Lemah sekali rasanya. Laven pikir, semua penderitaan dan kesakitan yang sejak dulu ia rasakan sudah cukup. Ia sudah cukup bisa beradaptasi dengan semua itu sehingga luka itu juga terasa monoton untuknya. Hanya terasa sakit untuk sementara dan akhirnya bisa reda begitu saja saking terbiasanya. Tapi semua luka yang sudah banyak tertoreh itu ternyata belum cukup. Setiap ada luka baru yang berhasil ia jinakkan, maka luka yang lain akan mendatanginya. Sepertinya memang akan seperti itu.
"Mungkin ayah kamu. Tante minta tolong buat aduk bentar ya."
Laven mengangguk, bangkit berdiri dari duduknya. Sedari tadi, sosoknya memang hanya diminta menemai dengan alasan bahwa Tante Lena masih kaku dengan tata letak alat dapur dan sebagainya. Katanya juga biar ada teman mengobrol. Dan kini, Laven tak sabar untuk bisa kembali ke kamarnya. Melihat bagaimana Tante Lena yang bergegas menyambut kedatangan ayah saja ia masih tak rela.
"Saya tinggal ya?"
Tante Lena mengangguk, tersenyum meski tipis sekali. Sampai sekarang, Laven belum bisa mengartikan sorot mata Tante Lena yang sulit dibaca saat menatapnya. Di awal, memang terlihat sorot keantusiasan dan kegembiraan yang cukup kentara. Tapi sejauh ia pahami, yang penting tatapan itu juga bukan tatapan kebencian maupun ketidaksukaan. Hal itu bisa membuatnya sedikit tenang dan yakin bahwa perlakuan ibu tiri yang kejam itu mungkin tak pernah ia rasakan.
"Sudah selesai?"
"Tinggal disiapin. Aku ke toilet bentar, Yah."
Ayah mengangguk sekali, masih berdiri di tempatnya berpijak bahkan saat keberadaan sosoknya sudah tertelan pintu kamar. Laven memang ke toilet, tapi itu hanya sebentar. Sekadar mengesahkan status bahwa ia tak berbohong. Nyatanya, sosoknya justru menjatuhkan tubuhnya di bed kamarnya. Ingin rasanya makan malam hari ini terlewati begitu saja. Dan lagi, kenapa sesusah itu menerima orang lain? Padahal orang-orang itu juga tak berlaku buruk padanya? Apa memang begini adanya jika trust issue itu sudah bersemayam di hatinya?
"Kamu mau pake lauk apa? Biar Tante ambilin ya."
Mau tak mau Laven memberikan piring yang sudah ia ambil pada tangan yang lain. Mata ayamnya yang menyadari jika ayah memerhatikannya membuat rasa tak nyaman itu ia rasakan. Padahal tatapan seperti itu sebenarnya juga sudah lumrah Laven dapatkan. Mungkin ayah hanya ingin melihat bagaimana responsya saja.
"Pulang malam ada lembur ya, Mas?"
"Ada perubahan sama proyek kemarin dan harus segera dibereskan."
Proyek kemarin? Laven sama sekali tak tahu tentang itu. Tapi dari situ sosoknya tahu bahwa mungkin ayah memang sudah dekat dengan Tante Lena. Sesuai dengan apa yang Tante Lena katakan bahwa sejujurnya beliau sudah sangat lama mengenal ayah. Laven ingin tahu lebih, tapi enggan jika harus bertanya jika keingintahuannya itu justru membuat dirinya sendiri terluka.
Hampir dari satu jam Laven harus tetap bertahan di tempatnya duduk. Dan kesabarannya membuahkan hasil saat Tante Lena pamit pulang karena waktu juga sudah menunjukkan pukul delapan lebih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lavenario
General FictionTak ada yang istimewa dari kisahnya. Sebut saja ia terlalu pasrah menerima. Kalau ada kata 'berjuang,' maka perjuangannya hanyalah tentang bagaimana caranya bertahan. Emosinya selalu ia pendam. Kalau pun tidak, maka orang lain hanya boleh melihat em...