Bagian 39

295 32 5
                                    

Mempersiapkan suasana hati agar lebih netral; Disha berusaha berpikir dengan kepala dingin. Ia tak bodoh untuk bisa membaca perilaku sang putra yang benar-benar tengah marah pada ayah kandungnya. Pahitnya, kemungkinan besar putranya itu menyimpan ketakutan tersendiri. Dan hal itu baru ia ketahui setelah menyadari bagaimana sikap putranya yang cenderung tak suka melihatnya berinteraksi dengan Rendra sang mantan suami.

Sesungguhnya, Disha sudah bisa menebak jika akan ada hal baru yang terjadi. Benar saja, mobil asing yang terparkir di halaman depan rupanya membawa seseorang di masa lalu yang telah menciptakan kerusuhan besar dalam hidupnya. Seseorang yang dahulu sama sekali tak ia anggap sebagai ancaman ternyata justru merenggut ketenangan yang dahulu baru saja dapat ia rasakan.

Dan ini adalah kali pertama Disha melihat kembali orang itu setelah belasan tahun lamanya. Ralat. Bertahun-tahun sebab kali terakhir pertemuan yang tak disengaja itu hanya berisi permintaan maaf dari pelaku yang berujung pengusiran dan peringatan darinya. Disha bukanlah orang yang pendendam. Namun, sungguh mengingat dampak perbuatan orang itu, Disha belum mampu jika untuk memaafkan. Ia hanya mampu untuk diam dan pasrah sebab ia percaya akan ganjaran dari Tuhan.

"Saya harus bersikap bagaimana lagi dengan tindakan kalian berdua?"

Kalimat itu spontan ia layangkan mendapati dua manusia yang berada di ruang tamu depan itu hanya bungkam. Masih baik bukan sikap dan bahasa bicara dirinya? Sejujurnya, Disha sedikit kecewa sebab dihadapkan dengan situasi yang tidak sesuai dengan ekspektasinya. Ia pikir hanya ada tiga orang yang berbicara  dengan ibu sebagai penengahnya.

"Saya bisa mengerti perasaanmu sekarang. Tapi, bisa kita bicara baik-baik? Laven sama-sama prioritas kita sekarang."

Muak. Sungguh kalau ditanya Disha sudah muak dengan ulah Rendra yang selalu jauh dari dugaannya. Orang lain kebanyakan menilai jika mantan suaminya itu konsisten antara ucapan dan perilakunya, sedikit bicara banyak aksinya. Tapi baginya tidak sama sekali. Hidup bersama hampir dua tahun lamanya tak bisa membuat dirinya memahami pola pikir pria itu.

"Baik. Saya minta maaf jika yang barusan masih kurang." Sengaja, sindiran halus itu ia layangkan. Maka tanpa disuruh duduk pun ia segera mengambil posisi yang cukup berjarak dari dua manusia yang lain. Tapi hal itu gagal ketika satu-satunya pria yang ada di sana berpindah mendudukan diri di sampingnya.

"Kamu bisa bicara sekarang."

Manik mata tajam Disha kini menatap penuh sengut seseorang di seberang sana. Seseorang yang sedari tadi hanya menunduk dan sesekali mencuri pandang ke arahnya. Jadi, kemana hilangnya kepercayaan diri yang didewakan orang itu di masa lalu? Senyum remeh, senyum licik, senyum sinis, dan segala topeng kebaikan itu di mana sekarang?

"Ren, boleh aku ngobrol berdua sama Disha?"

"Saya pikir lebih baik begini saja."

Empati itu entah kemana hilangnya. Disha masih ingat sekali jika bahkan di waktu menjelang kematian ayahnya yang pernah ia benci saja perasaannya tak sekeras ini. Tapi, sekarang di saat orang yang dahulu mengusik hidupnya dalam waktu singkat tengah meneteskan air mata penuh rasa bersalah membuat perasaanya seakan lenyap alias mati rasa.

"Kalau bisa jangan ada air mata. Sungguh, kalau mau adu nasib, putraku nggak diraguin lagi seberapa sengsaranya."

Sukses, kalimatnya barusan berhasil membuat yang diseberang bungkam dan bergegas menghapus air matanya. Lewat ekor matanya, Disha juga masih bisa menangkap jika Rendra bereaksi atas ucapannya. Tapi, kalau ada pembelaan dari orang di sampingnya, Disha sudah siap kalau harus meladeni.

"Aku minta maaf, Sha. Di waktu terakhir kali kita ketemu, aku udah berusaha jelasin. Aku terima kalau kamu nggak bisa kasih maaf. Tapi, untuk kali ini, aku harap kamu mau percaya. Demi kebaikan putramu, karena dari hati yang paling dalam.. Aku punya beban rasa bersalah sama Laven, sama kamu, sama Rendra, dan yang lainnya."

LavenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang