Bagian 11

382 43 2
                                    

Menunggu ayah yang masih berbicara dengan seseorang di seberang, Laven membuka ponselnya. Tiba-tiba saja tangannya bergerak menyentuh layar yang membawanya pada aplikasi yang jarang ia buka. Terlebih, jari-jari ramping yang meruncing di ujungnya itu justru menyentuh layar di mana status cerita dari orang-orang yang menyimpan kontak nomornya sekaligus nomornya ia simpan muncul di sana.

Hampir seluruh status yang ia bisukan itu ia lihat satu per satu secara berurutan, tak banyak. Sebab, Laven memang tipikal orang yang pilih-pilih akan menyimpan kontak nomor yang lain.

Happy birthday, Mom! Wishing the best for u, the human I luv the most in my life❤
Doa khususnya biar aku simpan sendiri ya, Ma! Semoga Tuhan lekas beri jawaban. Aamiin..

Ibu jari sosoknya sempat menahan layar agar tak membuat foto kue dengan lilin tulisan angka 36 dengan caption ucapan selamat ulang tahun itu menghilang. Itu adalah status kakak kelasnya, Lendra. Dan sekarang ada hal yang teramat mengangguk pikirannya. Meskipun terasa tak mungkin, tapi kenapa saling berkaitan? Atau hanya kebetulan beruntun belaka? Entahlah, yang jelas tepat saat ayah sudah menyalakan mesin, Laven juga langsung menaruh ponsel miliknya, berganti memandangi jalan malam yang sudah tak terasa asing baginya.

Sepanjang jalan, Laven bungkam. Bukan sebab sisa emosinya yang masih ada, lebih ke sebab ia tengah memikirkan peristiwa saling berkaitan yang belum ia temukan titik temunya.

"Yah, aku mau nanya sesuatu. Dan karena informasi yang aku tau barusan, aku bakal ngelanggar ucapanku."

Dapat Laven lihat jika ayah nampak diam berpikir. Barulah saat beberapa detik terlewati, sosok yang belasan tahun hidup bersamanya itu mengangguk.

"Mama ada di sini. Ayah yang cari tau, apa ayah yang dikasih tau?"

Sengaja, Laven tak menanyakannya secara spesifik. Boleh ia mengganti dugaannya, bahwa jika kontak nomor mama yang ayahnya simpan bukan hanya sekadar disimpan? Jadi, jika ayah benar-benar menjawab pertanyaannya, bolehkah ia menarik kesimpulan lain?

"Ayah tau dari orang lain."

Laven tak membalas. Cowok itu memilih memandangi jalanan luar lewat kaca jendela, dengan sesekali menatap jalanan depan. Sampai pada saat mobil yang dikemudikan ayah berhenti melaju, Laven baru mengalihkan pandangannya menatap wajah sang ayah.

Rendra tak berucap apapun, hanya memberi kode pada putranya agar mengikutinya turun. Laven menurut, tak ada alasan baginya untuk menolak. Cowok itu akhirnya turun setelah memakai masker medis berwarna putih untuk menutupi suasana hatinya yang kurang baik. Manik mata tajamnya tak berhenti menelisik sekitar. Ada banyak orang, tetapi suasananya juga tak berisik; terlihat syahdu sebab desain kafe yang mendukung dan rata-rata yang datang adalah kumpulan keluarga ataupun pasangan yang masih muda yang mengobrol ria.

Langkah kakinya terus mengikuti langkah ayah tanpa bertanya hendak duduk di mana. Laven pikir, lahan kosong yang ia pijak setelah keluar dari bangunan utama merupakan halaman belakang. Nyatanya, dibalik jajaran lampu gantung dan lampu taman yang dipasang penuh rancangan ada ruangan outdoor yang nampak lebih istimewa daripada desain bangunan sebelumnya. Cowok itu tak menyangka jika kafe pilihan ayah wilayahnya luas memanjang.

Rendra juga tak langsung mengajak putranya memilih tempat duduk atau memesan. Pria itu justru menggandeng lengan sang putra, mengajaknya ke sebuah spot foto. "Ayah mau foto. Diam di sini sebentar."

Laven cukup bingung, baik dengan sikap ayahnya pun bingung harus berpose seperti apa. Sementara, kini ayah sudah menyiapkan kamera ponsel mengarah ke arahnya dari jarak yang tak begitu jauh dan tak pula dekat. Laven otomatis menghadap ke arah kamera. Cowok itu berdiri tegap dengan kedua telapak tangan yang ia masukkan ke dalam saku. Bibirnya tersenyum tipis, meski akhirnya sadar bahwa itu percuma sebab masker yang menutupi sebagian wajahnya.

LavenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang