Bagian 33

289 35 4
                                    

Sejak pertemuan tak sengaja yang menggiringnya pada obrolan singkat bersama dr. Pras kala itu, Laven yakin jika tak lama setelahnya Panca juga akan mendengar hal yang sama. Dugaannya, hal itu juga akan berdampak pada hubungan pertemanannya. Tebakan itu semakin ia yakini ketika tahu bahwa kesepakatan antara kakaknya dan Panca di hari Minggu pagi dibatalkan begitu saja. Padahal setahunya, Panca cukup jauh dari tindakan seperti itu. Mungkin alasan itu belum cukup untuk menyimpulkannya. Namun, ada alasan lain yang membuat sosoknya meyakini jika dugaannya memang sudah menjadi fakta.

Sejak Senin pagi, Laven merasa Panca menghindarinya. Cowok itu hanya akan berada di dalam kelas saat pelajaran, dan akan bergegas keluar setelahnya. Mungkin biasanya juga sudah seiring seperti itu. Hal yang berbeda adalah bagaimana Panca yang sama sekali tak menampakkan wajah ke arahnya, bahkan tatapan matanya saja tak pernah Laven dapati menyorot ke arahnya. Terlebih mengeluarkan suara yang ditujukkan untuknya, Laven benar-benar tak mendapatkannya. Di hari Selasa juga sama. Bahkan ajakan Panca yang pada akhirnya ia terima beberapa hari yang lalu untuk pulang bersama saja seolah terlupakan begitu saja.

Laven tak masalah jika rasa marah dan kecewa itu ditujukan untuknya. Sedikit banyak ia bisa memahami hal itu. Tapi, kalau macam emosi yang belum ia ketahui secara pasti itu belum terdengar langsung di telinganya, Laven tak akan menanyakannya. Laven sendiri menyadari jika setiap orang butuh waktu untuk menerima hal-hal yang terasa mengejutkan dan mungkin sulit diterima. Kisaran waktu itu pun beragam jumlahnya. Jadi, mungkin membiarkan semua berjalan seperti demikian tak apa jika hanya untuk sementara.

“Lo marah sama gue?”

Itu adalah kalimat tanya yang terlempar memasuki saluran pendengarannya secara tiba-tiba. Awalnya Laven yang masih sibuk dnegan bacaannya tak menyadari jika tak jauh dari tempatnya duduk ada Panca yang tengan memilih buku dari rak terdekat.

Laven tak langsung menoleh sebab sudah terlalu hafal siapa pemilik suara dibalik pertanyaan itu. Cowok itu baru membagi atensinya kala menyadari jika Panca berada di hadapannya, duduk di kursi seberang.

“Gue udah tau maksud lo.”

Jeda.

“Bukannya lo yang marah? Seharusnya lebih masuk akal kalau lo yang marah.” Suara jernih sosoknya akhirnya terdengar menemani dua kalimat yang sudah Panca lontarkan terelbih dahulu.

Tak ada suara yang menyahut langsung. Di tempat duduknya, Panca justru membeku terdiam menatap lawan bicaranya yang mulai kembali fokus pada bacaannya.

“Lo nggak suka kalau orang lain tau privasi lo ‘kan? Sorry kalau gue jadi sedikit tau, lo berhak marah. Dan soal gue yang menurut lo marah, lo salah, Ven. Bokap gue ada hubungan sama mama lo belum lama, setelah perceraian itu selesai. Jadi, gue yang salah sangka.”

Menyimak ucapan Panca barusan, Laven sedikit paham alasan temannya itu menghindarinya. Bisa jadi, Panca beranggapan bahwa ia yang marah. Sedikit masuk akal, tetapi juga terasa menyebalkan. Laven tak sedungu itu untuk menilai mana yang terjadi karana disengaja dan mana yang tidak sengaja.

“Lain kali, lo harus cari bahan lain buat candaan. Kemungkinan besar gue bakal jadi adek lo beneran. Lo mau emang?”
Tatapan menyelidik itu menyoroti lawan bicaranya.

Dan, dengan tegas Panca berujar, “Gue nggak ada masalah. Tapi, kalau buat lo sendiri gue kurang yakin.”

Lebih dulu, sosoknya menunjukkan betapa fokusnya ia dalam bacaannya, yang kalau dipahami menandakan bahwa secara tersirat ia tak ingin melanjutkan pembicaraan yang mengarah ke sana. Panca juga cukup bisa menangkap sinyal itu, mengalah, meskipun awal mulanya justru sosoknya sendirilah yang menggiring pembicaraan ke arah sana.

LavenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang