Bagian 8

405 42 3
                                    

Jarum jam pendek mengarah pada angka enam, sedang jarum yang lebih panjang menunjuk ke angka dua. Masih disebut terlalu pagi bagi siswa untuk berada di dalam kelas. Laven juga biasanya tak berangkat sepagi ini, tapi demi bisa berangkat bersama ayah yang jam pulang perginya tak pasti, cowok itu mencoba membersamai meski harus memaparkan alasan yang tepat agar Rendra paham. Itu hal yang sering ia lakukan dulu. Namun, kini meskipun tindakannya sama, alasannya cukup berbeda.

"Lo tumben stay anteng sepagi ini." Suara Adel yang duduk di kursi paling depan terdengar. Gadis itu kini melangkah mendekat membawa bukunya. Tangan gadis itu bergerak memutar kursi, menghadapkannya ke bangku milik sosok yang tenggelam dalam bacaannya.

"Berangkat pagi lebih enak." Balas Laven lantas fokus kembali dengan buku bacannya. Sementara Adel, gadis itu tengah sibuk dengan aksi menulisnya. Saking seriusnya, suara satu per satu langkah kaki yang mulai terdengar tak menganggu keduanya. Lebih tepatnya, keduanya tak ingin mengabsen siapa-siaoa saja yang akhirnya tiba di kelas.

"Ngambis mulu, Del." Suara Dhito yang akhirnya tiba terdengar. Cowok itu meletakkannl tasnya ke kursi tempat duduknya seperti biasa.

"Ya kalau gue nggak gini, lo yang mau bayarin uang sekolah gue?" Tanya Adel masih tak mengalihkan fokusnya. Dhito seketika diam. Niatnya ingin basa-basi bertanya. Tak menyangka ucapannya akan dibalas kalimat sedemikian rupa. Ya, tapi ia sudah hafal bagaimana watak gadis di hadapannya: terkesan blak-blakan, tapi selalu apa adanya.

"Nggak deh. Gue belum bisa nyari duit."

"Nah, itu lo nyadar." Balas Adel yang kali ini menilik lawan bicaranya. Laven sendiri sudah mulai menutup bukunya. Cowok itu beralih mengoperasikan ponselnya.

"Si Lia tumben belum kelihatan."

"Napa? Kangen?"

Sekali Dhito mengangguk. "Bantuin temen lo nyadar lah, Del."

"Usaha sendiri. Lagian tuh anak masih polos. Lo jangan main-main!" Ujar Adel menggebu dengan sorot mata yang tampak hendak menerkam mangsa.

"Ini juga bagian dari usaha. Gue pacaran juga baru dua kali. Setia gini."

Adel yang malas menanggapi obrolan yang baginya tak ada manfaatnya enggan menggubris. Dhito kini juga lebih memilih memainkan ponselnya.

"Ven, lo buka hape cek apaan? Si Panca chat gue ini."

Bukan hanya Laven yang mengalihkan pandangannya, Adel pun sama. Dhito justru yang masih sibuk men-scroll layar ponselnya. Cowok itu membacakan pesan dari Panca persis seperti tulisan yang ada tertera di chatroom.

"Eh, gue belum lihat Panca taunya ngemper di perpus." Sahut Adel spontan.

"Oke. Thanks, Dhit."  Laven berucap setelah selesai mengecek pesan yang Panca kirimkan. Cowok itu kini bangkit, menuju gedung perpustakaan. Dua ibu pertugas perpus nampak sibuk dengan komputer di hadapannya. Cowok itu menyapa keduanya singkat, lantas kakinya kembali menjamah lantai perpus semakin dalam. Hanya ada tiga siswa yang baru ia lihat sepanjang langkah kakinya dari pintu depan barusan.

Keberadaan sosok yang tengah menelungkupkan kepala di meja dengan hoddie abu-abu tua menyita perhatian pandangannya. Dengan langkah cepat, tapi juga tak menimbulkan suara, Laven akhirnya mendudukkan diri di hadapan sosok itu.

Satu yang tak diketahui teman-teman sekelasnya: Laven tahu banyak sisi lain yang enggan Panca ceritakan pada yang lain. Belum lama kepercayaan antar keduanya terbangun, baru berkisar satu bulanan. Namun, meski begitu terhitung dari sekitar sebulan yang lalu sampai sekarang, Laven hanya aktif sebagai pendengar. Bukan Laven tak percaya. Bahkan, kalau boleh dibilang Panca adalah orang yang ia anggap paling tahu banyak tentangnya dan paling ia percaya dari sekian banyaknya teman yang ia punya.

LavenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang