Bagian 43

277 32 4
                                    

Setelah merasakan hangatnya pagi yang menjadi panas karena kejadian yang memukul telak lukanya, kini malam hening nan dingin yang berganti tiba. Gerimis tadi sore rupanya hanya mengetuk pintu untuk menyapa saja. Menyisakan suasana tenang di luar rumah yang dapat sosoknya amati di balik jendela-jendela besar kamarnya.

Suasana di luar kamar, Laven tak tahu seperti apa. Terakhir kali kakinya berpijak di lantai luar kamar adalah ketika berbicara dengan mama tadi siang. Bahkan, entah apa benar mama langsung pulang setelah berlangsungnya obrolan, Laven juga tak tahu-menahu.

Jam makan malam sudah lewat dan ia biarlan berlalu begitu saja. Sesungguhnya ada rasa takut jika ayah kembali menyeretnya seperti tadi pagi. Namun, sepertinya tidak sebab suara mobil ayah yang biasanya dapat terdengar dari kamarnya yang berada di lantai satu dan dekat dengan jendela belum ia dengar dan lihat presensinya.

Tentang Bunda, nyatanya juga belum mengajaknya berbicara. Kalaupun ajakan itu kembali ia dengar, tentu penolakan yang akan ia jadikan balasan. Dan tentang Oma, Laven pikir menjauh sejenak tidak apa-apa. Ia hanya tak mau mendengar Oma yang kembali menyinggung rencana rujuk kedua orang tuanya. Baginya, lucu sekali jika hal itu benar-benar terjadi.

"Bunda tadi ngetuk pintu. Nggak kedengeran ya? Mau dibuka dikunci katanya. Jadi ngiranya kamu udah tidur."

Laven menyayangkan posisinya yang hanya diam duduk di kursi yang ia tarik ke depan salah satu jendela kamarnya. Tampaklah bahwa dirinya hanya diam merenung tanpa kesibukan apa-apa. Setidaknya jika ada gawai atau buku yang tengah ia pegang, ia sedikit punya alasan untuk diam.

"Dek."

"Aku bakal diem kalau jadi kakak."

Laven rasa dirinya masih cukup baik sebab mau berbicara. Bagaimana pun hati kecilnya tak mampu jika harus menuruti egonya untuk berbalik mendiamkan yang lebih tua. Tapi untuk bersikap layaknya biasanya, ia juga tak akan bisa.

"Buat sementara, kakak nggak bakal minta maaf. Pasti muak denger banyak maaf yang bullshit doang."

Laven tak menanggapi dengan suara meski batinnya riuh menjawab. Bahwa itu semua tak ada bedanya omongan penuh kebohongan Nanta yang tak terbukti kenyataannya.

"Sikap kakak yang kemarin karena kakak bingung. Rasanya malu sekaligus ngerasa salah pas tau kalau Bunda secara nggak langsung bersalah. Soal kakak yang block nomormu itu karena kakak pikir lebih baik diem dulu daripada salah-salah. Marahnya kakak ke Bunda juga cuma diem."

Nanta yang masih dalam posisi berdiri justru nampak tengah mendongeng. Tak ada kontak mata yang tercipta sebab dua pasang manik mata keduanya sama-sama menatap keadaan luar ruangan yang bahkan tak mengalami perubahan apa-apa.

Menghela napas, Nanta merogoh saku celananya. Gawai pipih miliknya itu ia operasikan hingga nyala bagian layarnya. Diulurkannya benda itu ke hadapan yang lebih muda hingga membuat sosoknya yang tak tahu maksudnya itu sempat ragu untuk mengambil alih.

"Finally, diemnya kakak justru bikin produktif. Hasilnya, kakak diterima lebih dulu kuliah di sana bahkan sebelum ujian sekolah selesai."

Jeda.

"Kamu pasti tahu kalau kakak nggak ada rencana daftar ke luar negeri. Tapi, semua nggak bisa sama kayak dulu. Harusnya kalau jauh jadi nggak begitu kerasa 'kan ya."

Setetes air mata itu turun tanpa harus membasahi pipi empunya. Dan ajaibnya si empu justru yang lebih tua. Laven bukannya tak tahu, hanya saja masih berusaha duduk tegak mempertahankan pandangannya pada keadaan luar. Itu tak lain agar jiwa sensitifnya yang mudah tersentuh akhir-akhir ini tak bersemi kembali.

"Kema--,"

"Harusnya kakak tau aku lagi nggak bisa ngobrol sama siapa-siapa." Sebuah kalimat serupa pengusiran yang juga ia sampaikan pada orang yang berbeda.

LavenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang