Lampu-lampu jalan dan cahaya dari dalam rumah-rumah juga ikut menyala. Adzan magrib mulai terdengar kala Laven sudah siap dengan baju koko putih dan sajadah yang tersampir di bahunya. Tepat saat ia membuka pintu, sebuah motor paus dengan warna dominan putih sudah terparkir apik di halaman dengan pengendara yang masih stay duduk melepas helm dan jaketnya.
"Masuk aja. Gue keluar bentar."
"Eh, sekalian ngikut. Gue udah mandi." Sahut Panca buru-buru mendekat.
"Seenggaknya lo ganti baju."
Panca meneliti tubuhnya yang kini memakai celana jeans dan kaus biru muda lengan pendek. Cowok itu mengangguk mengikuti langkah si tuan rumah.
"Taruh mana?" Panca mengangkat kantong kresek putih yang ia bawa. Jika dilihat dari luar pun sudah dapat ditebak dengan mudah jika isinya merupakan kotak makanan.
"Lain kali nggak usah bawa apa-apa." Laven bersuara, mengambil alih kantong berisi makanan yang Panca bawa.
"Sekalian. Gue juga belum makan."
Sosoknya tak membalas, berlalu begitu saja dan diikuti si tamu yang mengekor di belakangnya. Kini, tangannya meraih gagang pintu, membukanya lebar hingga terlihat kondisi kamar tamu di rumahnya.
"Nggak usah. Gue udah bawa." Panca bersuara kala menangkap sinyal jika tuan rumah hendak mencarikan baju ganti untuknya.
"Sengaja nggak pulang apa gimana?"
"Emang udah kebiasaan. Jog motor gue berasa jadi lemari berjalan." Balas Panca memasuki ruangan. Laven pun melangkah guna menaruh makanan di dapur.
"Gas aja, biar cepet." Panca mengambil langkah sedikit di depan. Laven yang kini sedikit tertinggal mengangguk sebab kemungkinan jika jalan kaki juga akan tertinggal. Sore itu suasana di luar begitu nyaman. Rasanya Laven masih betah dan urung untuk masuk rumah jika saja tak ingat dengan tamunya yang belum makan.
"Lo betah sering di rumah sendiri?"
Aktivitas Laven yang tengah menuangkan teh hangat dari teko ke cangkir terinterupsi. Sosoknya kini melayangkan tatapannya pada cowok lain yang tengah duduk di kursi makan. Laven cukup heran dengan pertanyaan Panca yang membuatnya kurang nyaman. Itu pertamakalinya Laven merasa demikian sebab kalimat yang Panca lontarkan. Namun, jika dipikir pertanyaan itu juga masih umum jika tak memiliki maksud khusus.
"Eh, sorry."
"Gue udah biasa. Mungkin itu yang ngebuat gue betah." Laven menyahut. Tatapannya kembali fokus pada kegiatannya.
Panca mengangguk-angguk. "Gue juga sering sendiri. Bedanya dulu ada adek gue, ada juga bibi yang bantu meski nggak tiap hari. Sekarang ya kerasa bedanya."
Ah, Laven jadi teringat dengan topik obrolan Panca terakhir kali itu. Namun, Laven juga mengurungkan diri untuk bertanya jika bukan Panca sendiri yang bercerita. Mungkin hanya belum bercerita saja. Dan kini, sosoknya justru dibuat teringat dengan masalahnya sendiri.
"Adek lo gimana?" Itu usaha Laven mencoba mencari pengalihan dari pikirannya. Bisa jadi jika Panca tak datang, suasana hatinya sudah semakin memburuk saat ini.
"Gue masih bisa nemuin adek gue kapanpun gue mau." Sahut Panca menarik gelas berisi teh hangat yang sudah ditaruh di hadapannya.
"Gue nggak tau lo suka apa. Makanya gue belinya yang ori." Imbuh Panca kala si tuan rumah meraih kantong kresek uang ia baw.
"Apapun gue makan."
Laven mulai membuka kotak makanan yang Panca bawakan. Jadilah ia tak berbohong pada ayah. Sebab, awalnya ia sendiri memang berniat untuk tak makan malam ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lavenario
General FictionTak ada yang istimewa dari kisahnya. Sebut saja ia terlalu pasrah menerima. Kalau ada kata 'berjuang,' maka perjuangannya hanyalah tentang bagaimana caranya bertahan. Emosinya selalu ia pendam. Kalau pun tidak, maka orang lain hanya boleh melihat em...