Bagian 17

428 36 20
                                    

Tolong bantu koreksi typo ya! Thank you!

***

Laven pulang bukan bersama ayah, melainkan dengan Nanta dengan transportasi kereta. Oma masih dirawat di rumah sakit untuk beberapa hari ke depan, meski begitu kondisinya sudah membaik. Dua hari tak masuk, Laven bisa sebab ia juga tengah sakit. Namun, untuk meninggalkan bimbingan sosoknya cukup menyayangkan sebab aturannya cukup ketat karena bukan dengan pihak sekolah saja. Memang bisa, tapi izin itu lebih baik ia ambil di lain waktu untuk berjaga-jaga. Lagipula, ayah dan oma yang menyuruhnya mumpung ada Nanta yang mengantarkan sebab weekend dan dua hari selanjutnya kakaknya itu libur secara tak tertulis.

"Tau kamu anemia, tablet tambah darah yang dikasih Mbak Na ke cewek-cewek kakak ambil alih. Heran pil ginian cuman ditinggal di laci, katanya enek, amis. Padahal pemerintah belinya juga pake duit."

Laven tersenyum tipis, menerima tablet yang sudah Nanta bukakan untuknya. Kakaknya itu kalau sudah mengomel memang luar biasa menghiburnya. Padahal kalau di luar irit sekali bicara jika tak benar-benar penting. Nanta memang tipe orang yang akan menunjukkan sisi lain pada orang-orang terdekatnya. Mungkin itu juga diperuntukkan untuk teman-teman satu cirlce-nya. Tapi entahlah, sebab Laven hanya menduganya dari cerita Nanta sendiri, bukan melihat secara langsung.

Selesai, sosoknya kini berganti mengambil potongan roti untuk yang kesekian kali. Setelah dua hari lebih lamanya nafsu makannya terganggu sebab lambungnya yang bermasalah, baru pagi ini Laven kembali merasakan betapa nikmatnya bisa makan dengan baik.

"Nah, gitu. Makannya yang banyak. Masukin aja, kunyah terus selagi bisa." Nanta mengambil gelas yang sudah kosong dari air, mengisinya, lantas menyodorkan gelas itu kembali ke hadapan yang lebih muda.

"Biasanya juga banyak, Kak." Balas Laven usai meneguk minumnya.

"Bukan banyak enggaknya. Tapi tepat waktunya. Kalau puasa sekalian ya monggo-monggo aja kalau kata Bi Ida."

Laven mengangguk, lantas bangkit berdiri sembari membereskan sarapan dan langsung membawa peralatan makan ke bak cuci. Nanta sendiri hanya diam memerhatikan. Bukan tak mau membantu, tetapi memang sadar diri daripada seperti yang sudah-sudah. Bukan malah membantu, tapi justru memberatkan.

Tak butuh lama, semua sudah beres. Sosoknya kini memasuki kamar guna mengambil tas dan jaket miliknya, sedangkan Nanta yang juga terus mengekor kini menunggu bersandar pada pintu kamar. "Kakak kaget pas lihat kamu pake denim kemarin. Pake lagi lah."

"Ganteng ya?"

"Iya. Adeknya siapa dulu?"

"Devananda Jayananta kalau nggak salah."
Balas Laven sukses membuat Nanta tertawa. Dengan cekatan ia rangkul bahu yang lebih muda dan menggiring sosoknya  keluar. Laven mengunci pintu, sementara Nanta jalan lebih dulu memasuki mobil milik Rendra dengan kunci yang sudah ada dalam genggamannya. Suara dalam perjalanan diisi oleh senandung kecil Nanta yang mengikuti ritme dan lirik lagu barat yang ia putar. Laven hanya diam, merenungkan kejadian beberapa hari lalu yang tak bisa ia hilangkan dari pikiran.

"Pulang jam berapa? Kalau nggak lama, kakak tunggu. Gabut juga di rumah."

"Habis dzuhur selesai. Tapi di sana mungkin lebih gabut. Cuma ruangan buat bimbingan yang dibuka."

Nanta mengangguk-angguk paham.

"Ada kafe nyaman di deket sekolah. Mau nunggu situ?"

"Gampang, dimana-mana bisa. Masuk sana."

Sosoknya mengangguk, menyalami yang lebih tua dan segera memasuki wilayah bangunan sekolah. Laven melupakan fakta bahwa meskipun Nanta dan dirinya memang sama-sama tergolong tak banyak bicara, tapi mereka berbeda. Laven lebih suka di rumah, kalaupun jalan maka akan lebih memilih sendirian, berteman dengan siapa pun tapi tidak ada satupun yang dekat-atau mungkin jika sekarang Panca bisa disebut teman dekatnya. Sementara Nanta kakaknya merupakan pribadi yang tegas dan percaya diri; punya beberapa circle yang dilatarbelakangi hal-hal tertentu meski tak juga bisa dibilang sering berkumpul jika tak penting.

LavenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang