"Mama boleh masuk?"
Kalau ayah sudah pulang, mungkin Laven tak akan mengizinkan. Namun, sebab ayah belum pulang, maka ia mengangguk. Perlahan, pintu utama yang terkunci itu ia buka. Ia persilakan mama masuk terlebih dahulu yang diangguki mama dengan bonus senyum simpul.
Di ruang tamu itu Laven duduk, diikuti mama yang turut duduk meletakkan kantong berisi makanan yang sudah sempat ia pegang, tapi pada akhirnya kembali berpindah ke tangan mama.
"Mama mau minum apa?"
Laven kini bangkit dari duduknya, menenteng tas sekolah miliknya. Namun, alih-alih menjawab mama justru ikut bangkit dari duduknya.
"Boleh nggak mama ke dapur?"
Lagi, sosoknya kembali mengangguk. "Aku mau mandi."
"Habis itu, makan ya?"
Dengan bahasa non verbal berupa anggukan, Laven mengakhiri percakapannya dengan mama. Cowok itu lantas masuk ke kamarnya. Sesuai ucapannya, sosoknya langsung bergegas mandi. Tak butuh waktu lama, sebab Laven khawatir jika ayah yang tak pasti kapan pulangnya tiba-tiba datang. Entahlah, hubungan keduanya bagaimana saja ia tak tahu. Laven hanya takut, melihat bagaimana Tante Dian membenci keluarga ayah membuatnya menduga jika mama juga sama.
Harum aroma masakan itu, Laven sudah dapat menciumnya sebelum menyentuh lantai dapur. Mama kini nampak menuang sedikit air ke dalam panci wajan. Dan, rupanya tak butuh waktu lama bagi mama untuk menyadari keberadaannya.
"Maaf ya, mama pinjem dapurnya." Mama masih fokus dengan potongan baksonya saat mengatakannya. Laven tak membalas, memilih bergegas ke meja makan yang di atasnya sudah nampak secangkir segelas susu coklat dengan asap yang mengepul dan box berisi makanan yang sudah mama keluarkan dari kantongya. Dalam diam, sosoknya makan. Selain tak ingin melihat mama bertemu ayah, Laven juga tak ingin mama menyesali keputusannya yang sudah meninggalkan Lendra terlalu lama.
"Mama udah makan?" Laven bertanya saat suapannya telah tertelan. Mama memang baru saja duduk di hadapannya, saat makanannya sudah hampir habis. Ketika api itu dinyalakan sedang dan sepertinya tinggal menunggu masakan matang.
"Udah."
Laven menutup box makanannya karena memang sudah habis isinya. Cowok itu lantas meraih gelas susu di hadapannya, meneguknya hingga berkurang sepertiga bagian. Tak ingin hanya diam berhadapan dengan mama, Laven memilih bangkit. Cowok itu berakhir mencicipi kuah mangut ikan yang rasanya sangat pas di lidahnya. Merasa sudah cukup, jarinya lantas bergerak mematikan kompor.
"Laven."
Menghela nafas singkat sosoknya kembali duduk ke tempat semula. Mama masih menatapnya lekat, membuat sosoknya tak nyaman dan berakhir mengoyangkan pelan gekas berisi susu yang masih tersisa.
"Jangan pernah ngerasa kalau mama benci sama kamu. Sedikit pun, nggak ada rasa benci mama buat kamu."
Mama meminta hal demikian, tapi tak membayangkan kenapa ia bisa berpikiran ke arah sana? Daripada penjelasan mama tentang rasa benci dan sayang itu, Laven lebih perlu penjelasan di balik alasan mama yang meninggalkannya begitu saja. Seolah melupakan tanggung jawabnya. Sekali menjenguk, menghubungi, dan menanyakan kabarnya dalam waktu belasan tahun itu susahnya seperti apa? Bagaimana bisa ia percaya bahwa mama tak membencinya hanya dengan sebuah pernyataan singkat belaka?
"Tante Dian juga bilang kalau mama sebenernya sayang sama aku. Tapi, katanya juga nggak sebanding sama sayangnya mama ke Kak Lendra." Laven berani mengatakannya sebab tak melihat ke arah mama. Pandangannya juga masih terfokus pada tangannya yang masih menggoyangkan gelas miliknya. Biarlah demikian, penjelasan itu ingin sosoknya dengarkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lavenario
General FictionTak ada yang istimewa dari kisahnya. Sebut saja ia terlalu pasrah menerima. Kalau ada kata 'berjuang,' maka perjuangannya hanyalah tentang bagaimana caranya bertahan. Emosinya selalu ia pendam. Kalau pun tidak, maka orang lain hanya boleh melihat em...