Tak kasih yang manis² dulu. Nanti lebih manisnya di belakangan aja.
Malam Minggu gini kalian ngapain?
***
Ladisha hanya bisa tertunduk menangis tanpa suara. Alasan utamanya adalah karena ucapan dan sikapnya pada putra kandungnya kemarin sore. Entah pemikiran dan emosi macam apa yang menguasainya saat itu. Mau mengejar sang putra pun, wanita itu paham jika hasilnya akan sia-sia. Laven putranya pasti sudah bosan dengan permintaan maafnya. Ladisha sudah pasrah dan akan menanggung kesalahannya yang sudah berulang-ulang ia lakukan. Padahal seharusnya pembelajaran yang ia dapatkan sudah cukup sebagai bekalnya untuk memperbaiki yang masih bisa diperbaiki.
Kini, tak hanya sang putra kandung. Ladisha bisa merasakan kekecewaan kedua putranya yang cukup menyiksanya. Sungguh, bukan ini yang ia harapkan sebagai seorang ibu Wanita itu hanya takut kehilangan, baik itu Laven maupun Nalen. Tapi, rupanya caranya mempertahankan keduanya belumlah tepat. Ladisha belum bisa adil, dan kini wanita itu baru menyadarinya.
"Ma, you're hurting him."
Raut frustrasi Nalendra yang baru pertamakali Ladisha lihat, kini terus terbayang di benaknya. Putranya itu selalu tenang, bahkan ketika disakiti dengan yang lain pun Nalendra justru akan membagikan senyuman. Kali ini, ia yakin emosi putranya mungkin juga telah mencapai batasannya.
"It's my fault. Just my fault. He doesn't know anything. Aku yang abai saking senengnya ditawarin adek siomay langsung dari sendoknya. Aku tau itu refleks, tapi adek beneran nyuapin aku, Ma. Meski tau ada udangnya, aku tetep nelen. Aku yang abai. Pulang tadi adek banyak ngomong. Aku pikir, adek mau coba dengerin permintaan aku buat nerima mama sepenuhnya. Tapi, kalau kejadiannya kayak gini, aku minta maaf, Ma."
"Adek istirahat karena sakit. Bahkan kalau aku masih sanggup jalan sendiri, aku juga nggak bakal bangunin adek."
"Adek itu sulit diraih, Ma. Ibarat harus lari sejauh 10 kilometer, aku cuma sanggup lari setengahnya. Tapi, belum sampai setengahnya aja aku udah dipaksa berhenti dan milih balik lagi. Sejujurnya aku udah pengen nyerah, Ma. Demi kebaikan adek juga. Tapi, buat mama.. Tolong jangan pernah nyerah, Ma."
Ladisha tetap berusaha fokus pada kemudinya meskipun kalimat sang putra tadi malam terus keluar-masuk seolah berbisik di dekat telinganya. Ya, penjelasan Nalendra tadi malam semakin membuatnya berkali-kali lipat menyesali perbuatannya. Dan, berkat dorongan dari Nalendra, Ladisha yang awalnya sudah pasrah kembali mencoba meski hanya secuil kemungkinan harapannya akan menjadi nyata.
"Ibu sudah pulang? Mas Lendra baik-baik saja 'kan?"
Bukan tanpa alasan wajah panik Bi Jilah nampak. Wanita paruh baya itu tak menyangka jika di pagi buta sebelum adzan subuh berkumandang si pemilik rumah sudah datang.
"Alhamdulillah sudah membaik, Bi. Semalam, Laven tidur di sini?" Ladisha bertanya dengan hati-hati. Sejujurnya wanita itu ragu jika putranya itu masih tetap maubtinggal. Namun, mengingat bagaimana putranya sangat menjaga perasaan mantan suaminya, Ladisha merasa masih memiliki sedikit harapan untuk menemui putranya.
"Iya, kemarin Bibi minta buat nemenin. Alhamdulillah Mas Laven mau."
Kalimat syukur itu berkali-kali Ladisha ucapkan dalam hati. Namun, menyadari jika baru pulang dari rumah sakit, wanita itu memilih bersih-bersih lebih dahulu. Barulah setelahnya ia menaiki tangga menuju kamar sang putra.
Pintu di hadapannya masih tertutup sempurna. Bahkan, saat gagang pintu itu ia tarik, tak ada yang berubah. Pintu itu nyatanya terkunci. Maka berbekal intuisi yang mengatakan bahwa putranya itu selalu bangun menjelang adzan subuh berkumandang, Ladisha mencoba mengetuknya pelan. Sengaja ia tak bersuara agar sang putra mengira jika itu bukan dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lavenario
General FictionTak ada yang istimewa dari kisahnya. Sebut saja ia terlalu pasrah menerima. Kalau ada kata 'berjuang,' maka perjuangannya hanyalah tentang bagaimana caranya bertahan. Emosinya selalu ia pendam. Kalau pun tidak, maka orang lain hanya boleh melihat em...