Bagian 16

371 38 5
                                    

"Oma udah bisa dijenguk." Itu suara Lita yang berhasil mengalihkan Laven dari lamunannya. Sosoknya yang sedari tadi duduk bersandar kini menegakkan tubuhnya, mengangguk sekali, lantas bangkit berdiri. Sejak pagi tadi, bunda yang menunggu Oma dan baru menelepon ayah di siangnya, sedangkan ayah sendiri harus mengurus keperluan lain sejak kedatangannya di rumah Om Bram pada malam yang belum larut. Laven sendiri justru lebih dulu menyusul bunda dengan Nanta meski hanya satu orang yang boleh menunggu di ruang rawat.

Iya, telepon yang ia terima dari ayah sore tadi merupakan obrolan ayah yang memberi kabar bahwa Oma masuk rumah sakit. Dari kedai pertemuannya dengan mama pula Laven langsung menuju stasiun kereta. Sudah ada ayah di sana lengkap dengan beberapa barang yang pokok dibawa hingga bisa Laven tebak jika ayahnya sudah sempat sampai rumah.

"Sayang, muka kamu kok pucet?" Lita mendekat dengan wajah cemasnya. Tangannya kini terulur memeriksa dahi putra kembarannya. Suhu tubuh relatif normal, tapi jelas wajah pucat sosoknya perlu dipertanyakan.

"Aku nggak papa, Bunda. Biar aku lihat Oma dulu."

"Coba telfon kakak, minta buat balik jemput kamu."

Tangan halus bunda mengelus kepala sosoknya. Laven sendiri menggeleng. Kakaknya itu bahkan sudah membolos sekolah, tak ikut les, dan baru terhitung setengah jam yang lalu pulang setelah ia paksa sebab besok ada full exam. Lagipula, ini sudah sangat malam. Salahnya jika masih memilih tinggal dengan kondisi lambungnya yang kembali merengek setelah sekian lama baik-baik saja tak pernah kambuh.

"Ini udah malam." Laven menyahut pelan, berharap bunda paham meski ia tak bisa menjelaskan alasannya dengan gamblang.

"Balik sama ayah kamu aja ya? Bunda ada temennya kok."

Laven menggeleng, menunjukkan senyum tipisnya pada bunda guna meyakinkan jika dirinya baik-baik saja. Sosoknya kini melangkah memasuki ruang rawat, meninggalkan bunda yang masih di luar yang terakhir kali ia lihat tengah menghubungi seseorang.

Presensi ayah yang tengah duduk di kursi tunggu yang ia lihat untuk pertamakali. Ayah hanya menatapnya tanpa ekspresi dan Laven juga abai sebab dari dulunya memang sudah demikian. "Wajahmu pucat." Suara ayah mengudara dan terselip nada khawatir di sana. Laven membatin, bahkan ayah yang baru beberapa saat bertukar tempat dengan bunda saja kondisinya nampak luar biasa lelahnya.

"Oma tidur?" Tanya Laven berbisik, enggan menanggapi ucapan ayah barusan.
Arah pandangnya kini menatap Oma yang terbaring dengan kelopak mata menutup. Wajah pucat Oma sedikit tertutupi masker oksigen yang terpasang, membuat mulut dan lubang masuknya udara nafas tak terlihat jelas.

Gelengan ayah pada akhirnya mendorong sosoknya untuk mendekat. Tubuhnya sedikit membungkuk dengan kepala tertunduk dan tangan kanannya kini terulur mengelus punggung tangan Oma yang bebas dari selang infus. Sentuhan yang ia berikan pada akhirnya membuat kelopak mata yang tadinya terpejam itu membuka perlahan. Kini, tangan Oma terangkat mengusap pucuk kepala sosoknya.

"Cepat pulih, Oma." Sekali Oma mengedip pelan, sebagai balasan dari ucapan sosoknya barusan.

"Kak Nanta dari tadi juga nungguin, Oma. Tapi barusan pulang, besok balik lagi." Imbuh Laven yang juga dibalas Oma dengan tanggapan serupa.

"Pulanglah." Suara lirih Oma yang diucapkan penuh usaha terdengar. Bola mata Laven kini menghindari tatapan Oma. Barulah saat tangan Oma perlahan mengelus lengannya dan kembali mengedip pelan Laven mengangguk.

"Sayang, pulang sama Om kamu ya? Barusan bilang kalau udah selesai."

Laven mengangguk sebab banyaknya alasan yang pada akhirnya membuat dirinya sendiri tertawa dalam hati.

LavenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang